Setelah cahaya terakhir dari ledakan kekuatan sejati mereka memudar, dunia menjadi hening. Udara terasa ringan, seolah semesta menarik napas panjang setelah menahan derita berkepanjangan. Di tengah medan yang beku dan hangus oleh waktu dan es, Silvia dan Ayase berdiri dalam diam, tubuh mereka masih bergetar akibat pelepasan kekuatan yang luar biasa.
Namun, sesuatu yang tak terduga mulai terjadi.
Dari puing-puing dimensi tempat Kavalier Kegelapan dilenyapkan, muncul dua percikan cahaya hitam yang berdenyut seperti nadi. Mereka bukan hanya sisa sihir gelap—mereka adalah Inti Abadi. Fragmen murni dari eksistensi Kavalier, inti dari kehendaknya, kekuatannya, dan abadiannya.
Inti itu melayang, berputar perlahan di udara, seolah mencari tuan baru. Lalu tanpa peringatan—keduanya menembus tubuh Silvia dan Ayase, langsung ke dalam dada mereka.
Tubuh keduanya terangkat ke udara, mata mereka terbelalak. Sihir dan energi mulai berputar liar, menciptakan pusaran cahaya yang menyelimuti langit. Angin kencang menerpa hutan, waktu kembali bergetar, dan dimensi bergemuruh oleh kekuatan yang kini bersatu dalam dua tubuh manusia.
Silvia menggigit bibirnya menahan rasa sakit yang luar biasa, tetapi ia tahu ini bukan penderitaan biasa—ini adalah perubahan. Tubuhnya, jiwanya, bahkan keberadaannya… sedang ditulis ulang.
Dalam kesadarannya, ia melihat bayangan Kavalier berdiri di tengah kehampaan.
“Kau mengambil kekuatanku… dan kini kau harus menanggung beban kekalannya. Hukum sejati membutuhkan wadah abadi.”
Sementara itu, Ayase terjebak dalam ruang penuh es kristal dan bintang-bintang membeku. Suaranya menggema dalam dirinya, bukan suara orang lain, tapi dirinya sendiri—bagian dari jiwanya yang kini dipenuhi oleh potensi yang tak bisa dijelaskan dengan logika.
“Kekuatan ini… tak hanya membekukan dunia, tapi juga waktu dan kematian. Aku… abadi.”
Beberapa menit berlalu sebelum keduanya turun perlahan ke tanah.
Mata Silvia kini bersinar lembut dalam warna emas yang tak padam, tanda bahwa waktu tak lagi menguasainya. Rambutnya berubah sedikit keperakan, menandakan bahwa ia adalah pengemban hukum sejati secara penuh—makhluk di luar batas usia dan kefanaan.
Ayase berdiri dengan tubuh dikelilingi kabut es halus yang tak meleleh, meski mentari bersinar terang. Suhu tubuhnya tetap mutlak, tapi ia kini bisa mengendalikan aura itu dengan kehendaknya. Matanya berwarna biru pudar, seperti kristal abadi, dan di balik tatapannya, ada ketenangan seorang dewi es yang tak bisa disentuh oleh waktu maupun kehancuran.
Keduanya saling berpandangan.
“Kau merasakannya juga?” tanya Silvia pelan.
Ayase mengangguk. “Segalanya… jadi sangat tenang. Tapi juga sangat luas. Aku bisa mendengar suara dimensi, bahkan denyut bintang.”
Silvia menatap langit. “Kita… bukan manusia biasa lagi.”
Tak jauh dari mereka, tanah yang sebelumnya rusak mulai memperbaiki diri. Alam merespons eksistensi baru mereka. Waktu mengalir normal, bahkan lebih stabil dari sebelumnya. Aura keduanya menjadi jangkar realitas, pilar baru yang menggantikan kehancuran yang ditinggalkan oleh Kavalier Kegelapan.
Namun, mereka tahu bahwa keabadian bukan anugerah yang ringan.
Ayase memegang dadanya, tempat inti abadi tertanam. “Kalau kita tidak bisa mati… maka kita harus memastikan dunia ini tetap hidup.”
Silvia mengangguk, mata tajam menatap ke arah timur—ke mana distorsi dimensi belum sepenuhnya tertutup. “Kita diberi kekuatan ini… untuk menjaga keseimbangan. Tapi juga untuk menanggung beban mereka yang tidak bisa lagi berjuang.”
Angin berhembus lembut di antara pepohonan. Dunia perlahan menyesuaikan diri dengan kehadiran dua penjaga barunya—dua wanita yang kini tak lagi terikat waktu, usia, atau kematian.
Silvia, sang pengemban Hukum Sejati.
Ayase, sang pemilik Aura Nol Mutlak.
Dan di dalam diri mereka, denyut Inti Abadi terus berdetak—saksi dari perubahan dunia dan awal dari era baru.











