Malam jatuh dengan hening yang luar biasa. Tidak ada suara jangkrik, tidak ada desir angin. Dunia seperti menahan napas, seakan menunggu sesuatu yang besar akan terjadi.
Di dalam sebuah kuil tua yang tersembunyi di balik gunung beku, Ayase beristirahat. Tubuhnya tampak tenang, tapi dalam jiwanya, sesuatu sedang bergolak.
Saat ia tertidur, pikirannya tenggelam ke dalam kedalaman tanpa cahaya—tidak seperti mimpi biasa. Itu adalah ruang putih tanpa batas, seakan alam semesta telah dilenyapkan oleh kekosongan absolut.
Tiba-tiba, dia berdiri di atas danau es yang begitu jernih hingga memantulkan galaksi di bawahnya. Udara di sekeliling membeku di setiap helaan napas, dan suhu di tempat itu bukan sekadar dingin—itu adalah ketiadaan suhu, nol mutlak sejati.
Langkah kakinya tak mengeluarkan suara saat dia berjalan.
Kemudian… suara itu datang.
“Akhirnya kau datang, pewaris.”
Suara itu berasal dari segala arah, namun lembut, dalam, dan seperti gema dari awal waktu. Di hadapannya, muncul sosok perempuan—tinggi, mengenakan jubah panjang yang terbuat dari kristal bintang yang tidak bisa meleleh oleh waktu. Matanya putih sepenuhnya, rambutnya berkilauan seperti pecahan cahaya beku, dan seluruh tubuhnya menyatu dengan lingkungan sekitar.
Dialah Absolute—wujud sejati dari Aura Nol Mutlak.
Ayase menatapnya dengan ragu. “Kau… siapa sebenarnya?”
Sosok itu mendekat tanpa menyentuh tanah, setiap langkahnya membuat ruang itu membeku lebih dalam.
“Aku adalah awal dari kehampaan. Aku bukan dewa, bukan roh, bukan sihir. Aku adalah ‘keadaan mutlak’—di mana semua energi, gerak, dan eksistensi terhenti. Aku tidak diciptakan, aku muncul ketika semesta berhenti bicara.”
Ayase menggigit bibirnya. “Lalu kenapa aku bisa memilikimu?”
Absolute mengangkat tangan, menunjuk ke dada Ayase—tepat di mana Inti Abadi dari Kavalier bersatu dengan kekuatan Nol Mutlak.
“Karena kau adalah satu dari sedikit makhluk yang sanggup memeluk kehampaan… tanpa hancur. Kau tak melawan ketiadaan—kau menerimanya.”
Perempuan itu melingkarkan telunjuknya di udara, menciptakan gambar dunia dalam es. Ayase bisa melihat bumi, bintang-bintang, bahkan Haruto dan Silvia—semua membeku dalam satu detik. Lalu semuanya lenyap.
“Kau belum tahu seluruh kekuatanmu. Nol Mutlak bukan hanya membekukan suhu. Ia membekukan waktu, ruang, bahkan kemungkinan.”
Ayase tersentak. “K-kemungkinan…?”
“Benar. Kau bisa menghentikan konsekuensi. Kau bisa membekukan kenyataan sebelum ia terjadi. Itulah kekuatan yang selama ini bahkan dewa pun takutkan—itulah mengapa kau tidak akan pernah dimengerti oleh dunia ini sepenuhnya.”
Ayase terdiam. Ada rasa takut… dan kagum.
“Tapi kekuatan sepertiku,” lanjut Absolute, “bukan untuk menguasai. Ia hanya untuk menjaga batas. Bila kau menyalahgunakannya… maka dunia akan runtuh bukan karena kehancuran, tapi karena diam. Dan diam adalah kematian paling sejati.”
Absolute menyentuh dahi Ayase. Seketika, ribuan simbol kuno berwarna biru membakar dalam pikirannya—mantra, hukum, dan batasan. Ia bisa merasakan kekuatan dalam dirinya beresonansi… tumbuh.
“Mulailah memahami dirimu sendiri, Ayase Akane. Karena suatu hari nanti… aku tak lagi bisa menahan apa yang akan datang dari seberang dimensi.”
Dan sebelum Ayase sempat bertanya lebih lanjut, sosok Absolute perlahan memudar menjadi serpihan salju bercahaya, meninggalkannya sendirian di ruang tak bernama itu.
Ayase terbangun dengan mata terbelalak. Keringat dingin membasahi dahinya, meskipun suhu di sekeliling tetap membeku. Tapi dalam dirinya, dia tahu satu hal:
Kekuatan itu hidup. Dan ia telah membuka mata.










