Angin mengamuk di sekitar kaki Menara Katalis. Pusaran energi ruang dan waktu membentuk badai magis yang memisahkan menara dari dunia sekitarnya. Langit di atas mereka tak lagi stabil—berkedip antara siang dan malam setiap beberapa detik, seakan waktu kehilangan arah.
Haruto menatap puncak menara yang menjulang tanpa ujung. “Bagaimana kita masuk ke dalamnya?”
Silvia mengaktifkan kompas sihirnya, bola kristal di tangannya memancarkan pola bercahaya yang kacau. “Segel dimensi di menara ini ditenagai oleh Chronocore, inti waktu kuno yang mustahil disentuh tanpa resonansi sihir tingkat tinggi.”
Ayase melangkah maju. “Tapi jika Haruto benar-benar—”
“—penjelajah dari luar waktu,” potong Silvia, “maka mungkin dialah satu-satunya yang bisa memecahkan segel itu.”
Haruto menelan ludah, lalu menempatkan tangannya di gerbang menara. Batu-batu raksasa yang menyusunnya langsung bergetar. Segel kuno muncul—lingkaran sihir bersusun lapis, dengan simbol asing yang bahkan Silvia tak kenali.
Tiba-tiba, energi liar meledak dari lingkaran sihir itu, menolak kehadiran Haruto dengan kekuatan brutal. Tubuhnya terlempar ke belakang, menghantam tanah keras. Ayase segera menghampiri, sementara Silvia menggeram.
“Ini bukan hanya segel… ini semacam uji kelayakan.”
Haruto perlahan bangkit, tangannya bergetar. “Aku melihat sesuatu… ketika aku menyentuh segelnya. Fragmen ingatan. Seperti… masa lalu yang bukan milikku.”
“Apa maksudmu?” tanya Ayase.
“Seorang penyihir… berdiri di atas menara ini, menatap perang besar. Ia memakai jubah perak, dan… dia memanggilku.”
Silvia dan Ayase saling berpandangan. Jubah perak. Itu simbol Ordo Waktu Tertinggi—penjaga garis waktu terakhir yang menghilang ratusan tahun lalu.
“Kita harus masuk,” Silvia akhirnya berkata. “Apa pun yang terjadi di dalam menara itu… bisa jadi adalah inti dari semua kekacauan ini.”
Mereka menyiapkan ritual sihir gabungan, menggabungkan kekuatan Silvia dan Ayase untuk menstabilkan segel, sementara Haruto mencoba menyelaraskan sihir ruang-waktu di dalam dirinya. Lingkaran sihir berdenyut, dan badai di sekitar menara mulai mengendur.
Namun tepat saat pintu menara mulai terbuka, sesuatu muncul dari balik distorsi—makhluk besar berbentuk ksatria berlapis besi obsidian, bermata merah menyala.
“Penjaga Arus Waktu…” bisik Silvia. “Itu manifestasi dari sistem pertahanan menara. Kita baru saja membangunkannya.”
Makhluk itu mengayunkan pedang sihir besar yang memancarkan gelombang waktu, menyebabkan tanah di sekitar mereka berubah usia—pohon mengering dalam sekejap, batu menjadi debu.
“Aku akan mengalihkan perhatiannya,” seru Haruto, bersiap siaga.
“Aku bersamamu!” Ayase menyalakan senjatanya, sepasang belati sihir yang bergetar oleh resonansi waktu.
Silvia tetap di dekat gerbang, melanjutkan pelepasan segel. “Tahan dia! Aku butuh lima menit!”
Pertarungan pun dimulai. Di bawah langit yang pecah antara masa kini dan masa lalu, tiga jiwa bertarung bukan hanya untuk membuka pintu menara, tapi untuk masa depan dunia itu sendiri.
Dan di balik gerbang yang mulai terbuka, seseorang menanti mereka—seseorang yang mengenali nama Haruto bahkan sebelum Haruto lahir.











