Jejak yang tertinggal

Pagi yang cerah menyelimuti dunia yang baru saja dibangkitkan dari reruntuhan. Angin musim sejuk membawa aroma tanah yang subur dan kehidupan yang mulai tumbuh kembali. Dunia yang hancur kini perlahan bertransformasi, dengan desa-desa yang dibangun di atas tanah yang dulu porak-poranda. Tetapi meskipun dunia tampak tenang dan damai, ada ketegangan yang tak terucapkan—sebuah ancaman yang tersembunyi, menunggu untuk meledak kapan saja.

Silvia Akane melangkah dengan hati-hati di sepanjang tepi hutan, tubuhnya diselimuti jubah berwarna abu-abu yang berkibar tertiup angin. Di tangan kanannya, ia memegang jurnal sihir milik Haruto—teman mereka yang telah mengorbankan dirinya untuk menyelamatkan dunia. Jurnal itu bukan sekadar catatan, tetapi menjadi penerang dan pedoman dalam perjalanan mereka, penuh dengan catatan Haruto tentang dunia yang tak lagi mereka kenal.

Di sebelahnya, Ayase Akane, adik Silvia, berjalan dengan langkah lebih tegas. Pedangnya disarungkan, namun matanya tetap waspada. Sejak kepergian Haruto, Ayase merasa dirinya harus menjadi lebih kuat, lebih tajam. Ia tidak bisa membiarkan dunia ini kembali runtuh. Ada sebuah tekad yang mendalam dalam hatinya—sebuah janji pada dirinya sendiri, bahwa ia akan melindungi apa yang tersisa, meskipun dunia ini penuh dengan ancaman tak terduga.

“Aku merasa sesuatu yang tak benar di sekitar sini,” kata Silvia pelan, matanya tetap tertuju ke depan, tetapi hatinya penuh dengan perasaan cemas yang semakin mendalam. “Distorsi ini… rasanya semakin kuat.”

Ayase menoleh sesaat, matanya penuh dengan perhatian. “Kau merasakannya juga? Seperti ada sesuatu yang mengintai dari dalam hutan ini.”

Silvia mengangguk. “Ya. Aku tidak tahu apa itu, tapi… kita harus berhati-hati. Hutan ini penuh dengan kekuatan yang tak kita pahami sepenuhnya.”

Mereka terus melangkah lebih dalam ke dalam hutan. Semakin mereka melangkah, semakin gelap suasana di sekitar mereka. Pohon-pohon besar yang tumbuh dengan cabang-cabang hitam tampak membungkuk, seakan menyambut mereka dengan kesunyian yang mencekam. Sihir yang mereka rasakan di sekitar mereka semakin tebal, seperti ada aliran yang tak kasatmata, berputar-putar di dalam udara. Distorsi waktu yang kerap disebut-sebut dalam catatan Haruto bukan sekadar teori, namun kenyataan yang mereka hadapi kini.

“Ada sesuatu yang mempengaruhi waktu di sini,” kata Silvia, wajahnya tegang. “Distorsi ini bukan hanya gangguan kecil. Aku bisa merasakan bahwa ini adalah kekuatan yang lebih tua, yang mungkin telah ada sejak dunia ini pertama kali terbentuk.”

Ayase mendekati salah satu pohon besar, menyentuh permukaan batangnya. Rasa dingin yang menusuk langsung merambat ke jari-jarinya, seperti menyentuh permukaan yang tidak seharusnya ada dalam waktu ini. “Kekuatan gelap… ini bukan hanya gangguan waktu. Sesuatu atau seseorang yang terperangkap di dalam ini, dan ia tidak ingin kita mengganggunya.”

Ketika Ayase menarik tangannya, suara gemerisik terdengar. Mereka berdua langsung menyiapkan diri, waspada terhadap apa pun yang mungkin datang. Langkah mereka lebih pelan, hati-hati. Lalu, sebuah suara berat menggema, seakan berasal dari kedalaman waktu itu sendiri.

“Siapa yang berani mengganggu kedamaian yang telah lama tercipta di sini?” suara itu menggetarkan udara di sekitar mereka.

Dari bayangan yang gelap, muncul sosok yang lebih besar dari yang mereka duga. Kavalier Kegelapan, dengan tubuhnya yang terbuat dari serpihan waktu, muncul perlahan. Setiap gerakan tubuhnya membentuk distorsi, seakan dia tidak sepenuhnya ada di dunia ini. Wajahnya tertutup oleh helm hitam, dengan mata yang menyala seperti api yang membara di kegelapan.

“Apa yang kalian cari di sini?” suara itu bergema lagi, lebih keras kali ini. “Dunia ini tidak membutuhkan kalian. Kalian hanya makhluk yang terjebak dalam lingkaran waktu yang hancur. Kalian datang ke sini untuk memperbaiki sesuatu yang tak bisa diperbaiki.”

Silvia dan Ayase berdiri saling berhadapan dengan sosok itu, merasakan tekanan dari kekuatan yang terlepas di sekitar mereka. Distorsi semakin menguat, udara terasa tebal dan berat.

“Apa yang kau inginkan?” tanya Silvia dengan suara yang tenang namun penuh ketegasan. “Dunia ini tidak akan jatuh lagi. Kami akan menjaga setiap sudutnya.”

Kavalier Kegelapan tertawa pelan, suara tawa itu seakan berasal dari kegelapan yang tak terjangkau. “Dunia ini hancur bukan oleh kehendak kami. Tapi oleh takdir yang tak terhindarkan. Dan kalian… kalian yang berani melawan takdir, kalian akan mengerti kelak bahwa dunia ini sudah mati, dan tidak ada yang dapat memperbaikinya.”

Ayase mengangkat pedangnya, gemerincing logamnya terdengar nyaring di hutan yang sunyi. “Kami tidak takut dengan takdirmu. Kami akan bertarung untuk dunia ini, bahkan jika itu berarti melawan kalian.”

Kavalier Kegelapan mengangkat tangannya, dan dalam sekejap, ruangan di sekitar mereka berputar. Distorsi waktu yang tercipta di sekelilingnya semakin menguat, menciptakan sebuah pusaran yang seolah ingin menyapu mereka.

“Kalau begitu, hadapilah akhir dari segala yang kalian kenal!” Kavalier itu berteriak, dan sebuah gelombang kekuatan gelap menghantam mereka.

Silvia segera memanipulasi sihir waktu, menciptakan pelindung yang melindungi mereka dari serangan itu. “Ayase, hati-hati! Kita harus menyerang secara bersamaan!”

Ayase mengangguk, dan dalam sekejap, tubuhnya melesat seperti bayangan, memanfaatkan kecepatan luar biasa untuk mendekati Kavalier Kegelapan. Pedangnya berkilau tajam, siap menghujam ke arah titik lemah sang Kavalier.

Namun, Kavalier itu menghindar dengan gerakan yang tak bisa mereka ikuti, tubuhnya menyatu dengan distorsi itu sendiri. Ia muncul kembali di sisi lain, menyerang dengan kekuatan yang lebih besar. Setiap serangannya menyisakan bekas dalam waktu itu sendiri, merusak struktur realitas yang sudah mulai rapuh.

Silvia melompat ke depan, mengarahkan sihir waktu untuk memperlambat serangan tersebut, mengubah jalur serangan Kavalier itu. “Ayase, sekarang!”

Ayase memanfaatkan celah itu, menyerang dengan kekuatan penuh. Pedangnya melesat, tepat ke arah tubuh Kavalier. Tiba-tiba, ada ledakan energi besar saat pedangnya menembus tubuh sang Kavalier, tetapi tubuh itu hanya pecah menjadi serpihan waktu yang terpecah-pecah.

“Kalian pikir kalian bisa menghentikanku dengan cara itu?” suara Kavalier itu terdengar lebih dalam, lebih mengerikan. “Kalian hanya menunda yang tak terhindarkan. Waktu ini milikku.”

Namun, meskipun tubuh Kavalier itu terpecah, keberadaannya masih terasa di sekitar mereka. Distorsi yang terbuat darinya tak kunjung hilang, justru semakin kuat.

“Aku tidak akan membiarkanmu menguasai dunia ini!” teriak Silvia, dan dengan fokus luar biasa, ia memanipulasi sihir waktu, mencoba menstabilkan aliran distorsi yang semakin menguat. “Ini… adalah dunia kami sekarang.”

Dengan segenap kekuatan, Silvia dan Ayase melancarkan serangan terakhir mereka, menyatukan sihir dan kekuatan fisik mereka dalam satu titik yang memusatkan seluruh kekuatan mereka pada distorsi yang tercipta oleh Kavalier. Tiba-tiba, ruang waktu terbelah, dan Kavalier Kegelapan menghilang dalam ledakan besar, meninggalkan kekosongan yang sepi.

Namun, meskipun kemenangan sementara telah tercapai, keduanya tahu bahwa ini hanyalah awal dari perjalanan panjang mereka. Dunia yang baru dibangkitkan masih penuh dengan ancaman yang tak mereka ketahui.

“Ini belum berakhir,” kata Ayase, memandang ke ruang kosong di depan mereka.

Silvia mengangguk pelan, matanya tajam. “Masih ada banyak yang harus kita perbaiki.”

Dengan langkah mantap, mereka melanjutkan perjalanan mereka, siap menghadapi ancaman baru yang mungkin muncul, dan berjanji untuk melindungi dunia yang telah mereka bangun kembali.

You may also like: