Ledakan cahaya dan distorsi waktu masih menggema di dalam hutan ketika keheningan mencekam jatuh. Silvia dan Ayase berdiri di tengah medan yang telah berubah menjadi puing-puing dimensi, napas mereka berat, tubuh mereka dibasahi keringat dingin.
Namun keduanya tahu—itu belum akhir.
Dari retakan kegelapan yang menganga di tengah udara, sesuatu mulai merayap keluar. Kabut hitam mengalir seperti darah dari luka waktu, membentuk pusaran bayangan yang meliuk dan menggumpal, menyatu kembali.
Lalu terdengarlah suara itu—dalam, bergaung, dan penuh kebencian.
“Tak ada yang bisa membunuh kegelapan. Aku… adalah sisa dari dunia yang ditolak. Waktu kalian belum cukup untuk meniadakan eksistensiku!”
Dari dalam kabut itu, tubuh Kavalier Kegelapan mulai terbentuk kembali. Kini lebih padat, lebih kuat. Sorot matanya menyala ungu kemerahan, dan sihir gelap yang mengelilinginya mengubah sekeliling menjadi zona distorsi total—langit terbelah, bumi retak, waktu berjalan acak.
Silvia melangkah maju, matanya tajam dan tak gentar. Ia merasakan getaran dalam darahnya—panggilan dari sesuatu yang selama ini tertidur dalam dirinya. Sebuah hukum. Sebuah kebenaran yang selama ini tertulis di jiwanya, menunggu saat untuk dibangkitkan.
“Kalau begitu,” katanya perlahan, suara menggema lebih dalam dari sebelumnya. “Aku akan menggunakan kekuatan yang bahkan arus waktu pun tak mampu melawan. Hukum Sejati.”
Sihir di sekelilingnya pecah dalam satu denyut. Cahaya putih keperakan memancar dari tubuh Silvia, membentuk simbol-simbol kuno di udara—huruf-huruf dari bahasa yang hanya dikenal oleh penjaga waktu dan pencipta hukum semesta.
Rambutnya terangkat oleh energi murni, dan matanya berubah menjadi emas menyilaukan. Di belakangnya, muncul lingkaran sihir bersusun tiga, berputar saling bertaut, dan dari tengahnya keluar pedang bercahaya—Chronostigma—pedang yang mampu memutus sebab-akibat.
“Aku Silvia Akane. Pewaris Hukum Waktu Murni. Dengan nama ini, aku memerintahkan: segala yang cacat dalam aliran waktu—menghentilah!”
Saat pedang itu menghantam tanah, gelombang cahaya menyapu dunia. Distorsi waktu terhenti. Kavalier terguncang, tubuhnya merekah oleh cahaya hukum sejati yang tak bisa dia tolak.
Namun… dia masih bertahan.
“Hebat… tapi tidak cukup,” gumamnya. “Waktu bisa dikekang… tapi kegelapan tidak pernah mati.”
Di sisi lain, Ayase yang melihat Silvia mengeluarkan kekuatan sejatinya, merasakan sesuatu terbakar dalam dirinya. Emosi bercampur dengan keyakinan, kenangan masa lalu, dan niat melindungi dunia yang ia cintai bersama kakaknya.
Dunia ini harus memiliki penyeimbang dari segala hukum. Dan dalam dirinya, kekuatan itu terpendam—Aura Mutlak yang mampu membekukan realitas itu sendiri.
“Nol… mutlak.”
Saat Ayase mengucapkan dua kata itu, hawa dingin menyelimuti area sekitar mereka. Suhu turun drastis. Embun di udara membeku. Tanah, pohon, dan bahkan partikel cahaya mulai diam. Seolah-olah waktu menyerah pada suhu yang lebih kuat darinya—keheningan mutlak, dingin yang tidak berasal dari unsur alam biasa.
Aura biru kehijauan menyelimuti tubuh Ayase, membentuk jubah kristal dan mahkota tipis di atas kepalanya. Setiap langkahnya menebarkan lapisan es halus yang tidak bisa dihancurkan oleh energi mana pun. Bahkan distorsi waktu pun membeku.
“Dengan kekuatan ini,” katanya pelan, tapi dengan keyakinan tajam, “aku menyegel semua kemungkinan kehancuran… menjadi titik nol.”
Ia mengangkat tangan, dan dengan satu isyarat, seluruh area pertempuran membeku dalam bola es raksasa. Kavalier Kegelapan yang terjebak di dalamnya berteriak, tubuhnya tertahan, kekuatannya terkunci dalam es yang tidak berasal dari dunia ini.
Silvia memanfaatkan momen itu. Ia mengangkat Chronostigma dan mengarahkannya ke jantung kegelapan. “Sekarang, bersama!”
Dalam satu gerakan bersamaan, Chronostigma menghantam inti kabut gelap yang membentuk Kavalier, tepat saat Es Mutlak Ayase mengunci segala kemungkinan gerakan.
Ledakan cahaya—campuran emas dan biru es—menelan seluruh area. Tidak hanya membakar kegelapan, tapi juga menulis ulang struktur waktu dan ruang di tempat itu. Dimensi yang rusak diperbaiki. Distorsi ditutup. Dan tubuh Kavalier… hancur, menghilang tanpa jejak.
Sunyi.
Dunia kembali diam. Tak ada suara selain angin lembut yang kembali mengalir di hutan.
Ayase terjatuh berlutut, napasnya berat. Silvia segera menghampiri dan menopangnya.
“Kau baik-baik saja?” tanya Silvia pelan.
Ayase tersenyum tipis. “Sepertinya aku… sedikit berlebihan.”
Silvia tertawa pelan, mengusap rambut adiknya. “Tidak, Ayase. Kau luar biasa.”
Di langit, bekas distorsi mulai menutup. Dunia ini telah selamat—untuk sekarang.
Namun di dasar hatinya, Silvia tahu… kekuatan seperti milik Kavalier tidak muncul dari kehampaan. Ada sesuatu yang lebih dalam, lebih kuno, yang mungkin telah terbangun karena tindakan mereka.
Dan keduanya, dengan hukum sejati dan nol mutlak, kini menjadi garis pertahanan terakhir dunia.









