Langit di atas Istana Hukum Absolute tampak seperti jalinan kaca yang memantulkan segala kemungkinan masa depan. Kilatan cahaya dan bayangan menyatu, menciptakan ruang antara keberadaan dan ketetapan. Tak ada lantai yang benar-benar menyentuh kaki, tak ada dinding yang membatasi pandangan — hanya hukum yang melingkupi segalanya.
Silvia Akane berdiri di tengah aula yang tak memiliki ujung. Jubah putih yang kini melingkupi tubuhnya terbentuk dari cahaya Chronostigma itu sendiri. Tanda jam pasir terbalik di punggungnya terus berputar perlahan, mengalirkan sinar emas yang terasa seperti waktu yang baru ditulis ulang.
Di depannya, Raja Hukum — penjaga takhta waktu — tetap diam, berdiri dengan postur tegak dan agung. Matanya tersembunyi di balik pita perak yang tak pernah terangkat, seakan ia tak melihat dunia melalui penglihatan biasa, tetapi menilai segalanya melalui hukum itu sendiri.
“Silvia Akane,” suara Raja Hukum bergema, datar namun menggetarkan dimensi. “Warisan telah diberikan. Namun warisan bukanlah akhir. Ia adalah awal dari pembentukan realitas baru.”
Silvia menatap tangannya yang bersinar. Sihir lama yang pernah ia kenal terasa jauh lebih kecil dari apa yang kini mengalir di nadinya. Ini bukan lagi sekadar kekuatan — ini adalah otoritas untuk mengubah dunia. Namun dalam sinar keemasan itu, matanya menyimpan ketenangan. Bukan kesombongan, bukan ketakutan — melainkan tekad.
“Aku tak ingin hanya menjadi pewaris,” katanya pelan namun pasti. “Aku ingin menjadi penulis hukum baru. Dunia kami telah hancur oleh hukum lama yang gagal menyeimbangkan harapan dan kehancuran. Maka aku akan menuliskan ulang… dengan tanganku sendiri.”
Raja Hukum mengangkat tangannya. Di udara, muncullah gulungan cahaya, sebuah lembaran kosong yang mengambang, terbuat dari benang waktu dan energi hukum. Pena terbentuk dari cahaya Chronostigma, dan melayang di hadapan Silvia.
“Tulislah satu hukum. Satu ketetapan yang akan menjadi inti keberadaanmu. Itu akan menjadi awal realitas baru… dan harga dari tekadmu.”
Silvia diam sesaat. Di benaknya, ia teringat pada Ayase — adiknya yang kini memikul beban Absolute. Ia teringat pada Haruto, jembatan antara ruang dan waktu, yang selalu berdiri di antara mereka. Ia teringat pada kehancuran dunia, pada langit yang jatuh, dan tanah yang tak lagi bernama.
Dan ia menulis.
“Takdir tidak ditetapkan. Ia harus dirundingkan dengan keberanian, dan ditulis ulang oleh cinta.”
Gulungan cahaya menyerap tulisannya, dan seketika ruangan bergetar. Pilar-pilar hukum yang tak terlihat bergeser, menyesuaikan diri. Waktu di istana itu berhenti — atau melompat ke arah yang tak bisa dimengerti oleh makhluk biasa.
Raja Hukum mengangguk. “Maka, engkau adalah penulis pertama dari hukum baru. Pewaris Takhta Tanpa Waktu. Bangkitlah, Silvia Akane, Pengatur Takdir.”
Cahaya menyelimuti tubuh Silvia, dan Chronostigma di punggungnya berdenyut seperti jantung semesta yang baru lahir. Ketika ia membuka matanya, warna emas telah berubah menjadi putih terang — bukan karena kehilangan identitas, tetapi karena melampaui batas identitas itu sendiri.










