Raja hukum dan absolute

Langit seperti cermin retak yang sebentar lagi pecah. Di kejauhan, Pasukan Surga berbaris kembali, dengan bendera-bendera bercahaya yang berkibar tanpa angin, dan tombak-tombak suci yang memancarkan nyala suar magis. Di tengah barisan itu, Heaven berdiri tinggi—Dewa Perang, sosok berzirah emas yang tak ternoda, dengan mata menyala seperti bara kehendak ilahi yang haus peperangan.

“Kalian telah menyentuh sesuatu yang seharusnya tidak pernah dimiliki oleh manusia,” ucap Heaven dengan suara seperti gemuruh petir yang menggetarkan ruang dan waktu. “Cosmos adalah simbol keabadian, bukan untuk jiwa fana.”

Silvia dan Ayase berdiri di depan barisan itu. Meski tubuh mereka tampak kecil di hadapan kekuatan surgawi, cahaya dari Simbol Cosmos di dahi mereka mulai bersinar lebih terang dari apapun di medan itu.

Ayase memejamkan mata, tubuhnya diam seperti patung, tapi dunia sekitarnya mulai bergetar.

“Sudah cukup…,” bisiknya, namun gema suaranya menggema ke setiap sudut realitas. “Kita tak lagi hanya manusia.”

Simbol biru pucat di dahinya menyala seperti bintang kutub. Suhu di sekelilingnya turun drastis—nafas membeku di udara, tanah memutih, dan suara dunia memudar. Lalu, dari dalam dirinya… ia memanggil Absolute.

Sebuah retakan vertikal membelah ruang. Dari dalam celah itu, keluar kabut beku yang tidak hanya menggigit kulit, tapi membekukan ingatan, waktu, dan eksistensi. Sosok raksasa dari es dan cahaya melangkah keluar perlahan. Absolute berdiri—wujud perempuan abstrak, seolah dibentuk dari salju abadi dan kristal tak bernama. Rambutnya melayang tanpa angin, seperti pancaran aurora beku, dan matanya adalah dua lubang kekosongan yang bercahaya biru dingin.

“Aku adalah Nol Mutlak,” ucapnya dengan gema yang membuat langit membeku, “dan Ayase adalah tubuh baruku.”

Tubuh Ayase berubah. Rambutnya yang perak kini bersinar seperti es abadi, memanjang hingga menyentuh punggung. Sayap kristal tumbuh dari punggungnya—bukan untuk terbang, tetapi untuk menggantung keseimbangan realitas. Pijakannya tidak lagi menyentuh bumi, ia melayang dalam kubah kabut beku yang menelan segala suara.

Sementara itu, simbol keemasan di dahi Silvia menyala, membentuk pola rumit seperti matahari yang berputar. Ia mengangkat tangannya, dan suara nyaring seperti dentang jam surgawi terdengar dari langit yang robek oleh cahaya suci.

Dari celah itu, Raja Hukum turun.

Ia tidak berjalan. Ia turun dalam pancaran vertikal yang membelah awan menjadi dua—separuh terang, separuh gelap. Sosoknya tinggi dan agung, tubuhnya dibalut jubah emas-putih yang berpendar. Pita perak menutupi matanya, tapi seluruh dunia seperti teratur di bawah pandangannya. Chronostigma di tangannya bersinar—pedang simbol hukum yang tidak hanya memotong, tapi juga menulis ulang hukum realitas.

“Silvia,” suaranya seperti lonceng keadilan surgawi, “engkau telah mencapai takhta yang diwariskan.”

Silvia berubah. Tubuhnya dikelilingi lingkaran hukum bercahaya, dengan lambang jam pasir terbalik yang berputar pelan di belakangnya. Setiap langkahnya menciptakan struktur geometri cahaya di udara, seperti hukum alam sedang diprogram ulang lewat gerakannya. Matanya bersinar putih bersih—bukan cahaya biasa, tapi kilau pemahaman yang melampaui waktu dan ruang.

Di antara mereka berdua, Heaven menatap dengan wajah keras—tak gentar, namun ada secercah kehati-hatian di matanya.

“Jadi ini wujud kalian yang sesungguhnya,” katanya. “Pewaris kehampaan dan hukum.”

Ia menghentakkan tombaknya ke tanah. Ledakan energi terjadi. Tanah meledak ke udara. Cahaya perang menyebar bagai badai ilahi.

Silvia melangkah ke depan. Wujud Raja Hukum berdiri menjulang di belakangnya, menyatu secara metafisik. Ujung Chronostigma-nya bergerak perlahan, dan seketika medan perang berubah—gravitasi berubah arah, waktu melambat, dan sihir musuh menjadi fragmen yang terurai.

“Kami tidak akan membiarkan perangmu menghancurkan keseimbangan,” ucap Silvia dengan nada tinggi namun lembut, seperti dewi keadilan yang turun ke dunia.

Ayase melayang ke samping, dan Absolute berdiri di belakangnya seperti bayangan kutub semesta. Dalam sekejap, semua kelembutan di wajah Ayase lenyap—matanya menyala putih, dan dari udara kosong, ribuan kristal es muncul, mengorbit seperti cincin planet yang bersinar beku.

“Kau tak pantas menyentuh dunia ini,” gumam Ayase, dan suara itu seperti palu dingin yang menghancurkan segalanya.

Heaven mengangkat tombak dengan dua tangan. “Kekuatan kalian mungkin ilahi,” katanya, “tapi aku adalah kehendak perang itu sendiri. Aku adalah hasil dari konflik sepanjang sejarah umat makhluk. Lihatlah! Inilah akhir dari harapan!”

Ia menerjang. Tombaknya menebas langit, menciptakan gelombang energi suci yang meledakkan pegunungan jauh di belakang mereka.

Pertarungan dimulai.

Ayase mengangkat tangannya, dan seluruh medan perang membeku dalam sekejap—bahkan cahaya berhenti. Silvia mengayunkan tangan, dan waktu kembali mengalir… tapi di bawah hukum barunya. Serangan Heaven terhenti di tengah udara—terjebak antara hukum baru dan kehampaan.

Lalu mereka bergerak.

Ledakan cahaya, kabut es, hukum melingkar, dan suara genderang waktu bertabrakan. Dunia runtuh dan terbentuk kembali ribuan kali dalam detik-detik pertempuran mereka. Di balik semua itu, simbol Cosmos bersinar di dahi mereka, menghubungkan mereka dengan realitas tak terbatas.

Ini bukan lagi sekadar pertarungan.

Ini adalah benturan antara keseimbangan dan kehancuran, antara masa depan dan kekekalan.

You may also like: