Langit terbelah oleh ledakan cahaya terakhir dari Heaven, mengguncang dunia dalam semangat kehancuran yang belum pernah terlihat sebelumnya. Cakrawala memerah, dibanjiri dengan gemerlap emas yang bersinar tajam seperti luka yang menganga. Di tengah gemuruh itu, dua sosok berdiri tegak—Silvia Akane, sang Pengatur Takdir, dan Ayase Akane, sang Inkarnasi Absolute. Kekuatan mereka melingkupi segenap ruang, menstabilkan dunia yang terhancur dengan dominasi yang menakutkan. Di belakang mereka, dalam wujud yang tak terbantahkan, berdiri dua entitas agung—Raja Hukum dan Wujud Absolute, keduanya melambangkan kekuatan yang jauh melampaui batasan manusia atau bahkan dewa.
Dengan enam lengannya yang memancarkan kilatan cahaya surgawi, Heaven mengangkat tubuhnya yang terlahir dari kekuatan tak terhingga. Matanya yang seperti bola api menatap tajam kepada dua pewaris kehendak semesta itu. Suaranya menggema melalui ruang, seakan seluruh jagad raya mendengarnya.
“Kalian bukan dewa. Kalian bukan ciptaan. Kalian hanyalah keturunan ketidakseimbangan!”
Namun, Ayase tidak berbicara. Di balik tatapannya yang kosong, matanya membeku, putih sepenuhnya. Tidak ada lagi ekspresi manusia dalam dirinya. Dunia di sekelilingnya terbalut oleh serpihan-serpihan realitas yang melayang, membeku di udara. Setiap helaan napasnya mengubah ritme waktu, memperlambat arus waktu dan menghentikan suara kehidupan di sekitarnya.
Di belakangnya, Wujud Absolute, sosok raksasa yang terbuat dari kabut es dan cahaya biru membeku, mengangkat tangannya. Tanpa sepatah kata pun, dunia ikut beku. Dimensi yang mengelilingi mereka seperti terhenti dalam ketidakberdayaan, dan waktu terhenti hanya dalam satu detik. Absolute menunjuk pada Heaven, dan segalanya meresap ke dalam kehampaan.
Ayase membisikkan kata-kata dalam bahasa yang lebih tua, lebih beku, yang menggetarkan ruang dan waktu itu sendiri:
“Engkau akan membeku… sebagai kesalahan.”
Tubuh Heaven yang kokoh membeku dengan cepat, seolah seluruh realitasnya dipotong dari dunia ini. Bagian tubuh Heaven yang pertama membeku, lalu ledakan es yang dahsyat meledakkan bagian tersebut menjadi serpihan-serpihan cahaya beku yang menghilang ke dalam kehampaan. Bagian itu menjadi debu yang perlahan hancur. Keberadaannya, perlahan-lahan, lenyap dari eksistensi.
Silvia melangkah maju dengan anggun, rambut merah anggurnya berkibar dalam badai hukum yang mengelilinginya. Raja Hukum, di belakangnya, membuka jubahnya yang bersinar seperti cahaya matahari yang tajam, memperlihatkan lambang Chronostigma yang berputar di tangannya, menghancurkan segala ilusi dan kebohongan. Sebuah aura tak terbantahkan melingkupi Silvia, aura yang memanifestasikan hukum semesta yang akan melampaui segala kekuatan. Sebuah energi yang membuat langit sendiri seolah menunduk pada takdir.
Di hadapannya, Heaven, yang sebelumnya angkuh dan tak terkalahkan, kini terpojok oleh kekuatan tak terhentikan ini.
Silvia mengangkat tangan kirinya dengan lambang Chronostigma yang berputar. Suaranya bergema dengan energi hukum yang mendalam, menggema seolah seluruh dunia mendengarnya:
“Kau melawan arus takdir. Maka aku akan mencabut hak keberadaanmu.”
Sebuah lingkaran hukum yang berkilau dengan warna emas menyala terbentuk di bawah tubuh Heaven. Dengan kekuatan hukum yang begitu besar, tubuh Heaven dipaku ke tempatnya, tidak bisa bergerak, tidak bisa melarikan diri. Lima dari enam lengan Heaven meledak dalam ledakan kekuatan hukum yang memecah segalanya, sementara matanya yang terbuka penuh rasa takut menyadari kebenaran.
“TIDAK MUNGKIN!! AKU—AKU—!!” teriak Heaven, suaranya serak dan penuh kepanikan.
“Kau hanyalah hasil perang. Kami adalah keseimbangan semesta,” ucap Silvia dengan suara dingin yang memantulkan keyakinan dan kebenaran tak terbantahkan.
Di saat yang bersamaan, Raja Hukum dan Wujud Absolute bergerak maju bersama, masing-masing dengan kekuatan mereka yang tak tertandingi. Di antara tangan mereka yang terangkat, dua sinar—satu emas, melambangkan hukum yang tak dapat dilawan, dan satu biru, mewakili kekuatan mutlak dari es dan waktu—menyatu, membentuk pancaran yang menembus tubuh Heaven.
Namun, bukan kehancuran yang tercipta. Tidak ada ledakan besar, tidak ada jeritan atau teriakan kesakitan. Hanya sebuah kekosongan, sebuah kekosongan yang perlahan menyelimuti eksistensi Heaven. Tidak ada yang tersisa dari sang dewa perang. Tidak ada sisa debu, tidak ada bayangan. Hanya kesunyian mutlak yang mengisi ruang kosong.
Dalam sekejap, Heaven, sang Dewa Perang, lenyap tanpa jejak. Tidak ada gemuruh atau perayaan, hanya keheningan yang mengalir melalui dunia yang kini menjadi tempat yang lebih sepi.
Langit runtuh, namun tidak ada yang menggema. Tanah mengering, dan dunia yang pernah terancam oleh perang antar dimensi kini berada dalam keheningan abadi. Di pusat kehancuran itu, dua sosok—Silvia Akane dan Ayase Akane—masih berdiri dengan kekuatan yang tak terkatakan, bayangan Raja Hukum dan Wujud Absolute menghilang perlahan.
Ayase menunduk, suara bisiknya pelan namun penuh makna: “…Sudah tidak ada lagi.”
Silvia menatap kosong ke langit yang runtuh. Dengan anggukan pelan, ia menjawab dengan penuh keheningan, “Pertarungan ini bukan demi menang. Tapi demi menjaga bentuk dunia.”










