Dunia ini tidak runtuh dalam ledakan, melainkan dalam keheningan.
Langit yang dulu berdenyut dengan sihir kini tinggal bentangan kelabu tak bernama, membentang di atas puing-puing keajaiban yang pernah hidup. Reruntuhan kota sihir kini menjadi makam bagi waktu, dan setiap partikel debu mengandung gema dari takdir yang tertunda.
Di antara reruntuhan, dua sosok masih berdiri.
Silvia Akane, pengatur takdir, dengan rambut merah anggur yang berpendar lemah dalam senyapnya hukum.
Dan Ayase Akane, kutub pembeku, dengan mata beku yang tak lagi mencerminkan langit ataupun bumi.
Mereka tidak berbicara pada awalnya. Mereka tidak perlu.
Udara di sekitar mereka dipenuhi dengan napas dunia yang tertahan.
Langkah Silvia menggores lantai yang dipenuhi retakan bercahaya. Di ujung jubahnya, jejak sihir yang tak selesai berpendar seperti sisa mimpi yang tak ingin dilupakan. Lambang Chronostigma di tangan kirinya berdenyut perlahan, mengikuti denyut dunia yang belum lengkap.
Ayase berdiri tak jauh, di atas pecahan altar yang pernah menjadi pusat sihir kota.
Setiap geraknya membuat suhu di sekitarnya turun, setiap helaan napasnya membekukan partikel suara. Di belakangnya, wujud Absolute membentang seperti bayangan kabut yang tak memiliki masa kini.
“Ia masih tertidur,” suara Ayase lembut, tapi menembus seperti hembusan musim dingin pertama.
Silvia tidak menjawab langsung. Ia memandang cakrawala yang tak bergerak, seperti lukisan yang belum selesai.
“Dan dunia masih menunggu,” ucapnya pelan.
Di atas mereka, langit tetap sama—warna senja yang tidak tahu harus menjadi malam atau siang. Di bawah mereka, dimensi merintih dalam diam, mencoba menyesuaikan diri tanpa pusatnya.
Nature of Nothingness—NON—adalah nama dari alam itu.
Sebuah tempat yang bukan tempat. Ruang yang menolak konsep, waktu, hukum, bahkan eksistensi itu sendiri.
NON bukan hanya wilayah kosong; ia adalah keseimbangan pasif dari semua yang tak bisa dimengerti.
Dan kini, NON berada dalam kendali Zero.
Karena Haruto, jembatan ruang dan waktu, kini tertidur dalam kedalaman lapisan kelima.
“Jika ia terbangun, keseimbangan akan kembali,” kata Silvia, seolah menegaskan pada dunia yang tak mau menjawab.
“Dan jika tidak… kita yang harus menjaga,” lanjut Ayase, suara beku namun tegas.
Silvia menunduk, lalu melangkah mendekat. Mereka berdiri berdampingan.
Dua kutub. Dua warisan. Dua saksi yang kini menjadi pilar.
“NON terlalu luas untuk diukur, terlalu dalam untuk dipahami. Tapi kita tahu ini: Haruto adalah pusat. Dan saat ia tak sadar, seluruh lapisan menjadi kabur.”
Ayase menggenggam jari-jarinya yang mulai membeku. Ia merasa kekuatan Absolute berdenyut tak seimbang.
“Zero menjaga dengan cara yang berbeda. Ia bukan jembatan… ia adalah sisa dari kehendak terakhir.”
Silvia mengangguk. “Ia bukan penyatu. Ia penunggu.”
Hening.
Angin dingin bertiup, membawa serpihan waktu yang membatu. Di kejauhan, suara retakan dimensi terdengar seperti kaca pecah dalam gerakan lambat.
“Lapisan keenam… terlalu dalam untuk kita,” bisik Ayase.
“Dan terlalu dekat dengan akhir,” tambah Silvia.
Mereka tahu Haruto tidak bisa dijangkau saat ini. Ia terkurung bukan karena lemah, tapi karena posisinya berada di antara realitas dan inti dari NON itu sendiri. Sebagai pembentuk dan pemelihara, tubuhnya kini eksis hanya dalam pantulan konsep—tidak bisa disentuh, tidak bisa dibangunkan secara paksa.
Namun ia akan bangun. Entah kapan. Entah bagaimana.
Dan hingga saat itu tiba, Silvia dan Ayase akan tetap berdiri.
Bukan sebagai prajurit.
Bukan sebagai pewaris.
Tapi sebagai penjaga batas—antara dunia yang runtuh dan dunia yang akan lahir kembali.
Mereka memandang langit yang tak berubah.
Di atas sana, tidak ada bintang. Tidak ada matahari.
Hanya satu celah tipis yang terbuka… seolah mengintip dari kejauhan.
“Kau tahu,” ucap Ayase pelan. “Bahkan tanpa suara… aku bisa merasakan denyutnya.”
“Aku juga,” jawab Silvia. “Itulah sebabnya kita tetap di sini.”
Dan dengan itu, dua saudari itu kembali diam.
Di antara bayang-bayang kehancuran, mereka berdiri seperti menara tak tergoyahkan.
Menanti yang tertidur untuk kembali menjadi pusat segalanya.









