Cahaya yang memancar dari Chronostigma di punggung Silvia perlahan memudar. Istana Hukum Absolute kini terbungkus dalam kesunyian, dan segala sesuatu yang ada di sekitar Silvia terasa seperti kenangan yang tersisa dari masa lalu — sebuah tempat di luar waktu, di luar keberadaan yang nyata.
Namun, di luar dunia yang memeluknya dalam ketenangan itu, dunia yang nyata terus berputar. Dunia yang harus kembali ia hadapi.
Ketika Silvia akhirnya menutup matanya, tak ada lagi kehancuran atau kegelapan yang mengelilinginya. Ia merasa seperti mengambang dalam ruang kosong yang tenang, namun tetap hangat. Kekuatan Chronostigma, yang kini menyatu dengan tubuhnya, terasa seperti bagian dari dirinya yang tak terpisahkan.
Namun, kebisuan itu tak berlangsung lama.
Tiba-tiba, suara lembut tapi tegas menyentuh kesadarannya.
“Silvia… Silvia, bangun.”
Ayase berdiri di ambang pintu, dengan siluet tubuhnya yang samar di balik cahaya rembulan yang menerobos jendela ruangan. Rambut peraknya yang panjang mengalir lembut, meskipun aura dinginnya tidak terasa seperti sebelumnya. Ia kini terlihat lebih dewasa, lebih matang, meskipun usia mereka tak terlalu jauh berbeda.
Silvia membuka matanya, dan seketika dunia kembali membungkusnya. Ruangan tempat ia tidur, dengan langit yang perlahan gelap di luar jendela, mengingatkannya bahwa waktu terus berjalan, meski ia baru saja menjadi bagian dari takdir yang lebih besar. Chronostigma di punggungnya berputar dengan lambat, berkilau dalam keheningan yang mendalam.
“Haruto…?” Silvia bertanya lirih, namun ia sudah tahu jawabannya. Haruto tidak ada di sini, seperti biasanya.
Ayase mengangguk pelan, berjalan mendekat dan duduk di samping ranjang tempat Silvia berbaring. “Ia sedang keluar mencari sesuatu. Kamu terlalu lama terlelap. Waktu sudah hampir malam.”
Silvia menatap adiknya itu, merasakan kehadirannya yang begitu menenangkan namun penuh ketegasan. Ayase, dengan segala kekuatan Absolute yang ia miliki, tetap menjadi pelindung dan teman yang tak tergantikan. Meskipun dunia mereka penuh dengan pertempuran dan pengorbanan, hubungan mereka berdua tetap kuat, bahkan lebih kuat setelah mereka dipertemukan kembali.
“Lama sekali ya… Aku rasa seharusnya aku merasa lebih… siap,” Silvia berkata dengan suara yang lebih rendah, seolah ia berbicara lebih pada dirinya sendiri.
Ayase menatap Silvia, tatapannya yang dingin kini mengandung lebih banyak kehangatan. “Kamu sudah siap, Silvia. Tidak perlu meragukan dirimu lagi.”
Suasana malam itu terasa hening, seakan ruang di sekitar mereka memberikan ruang untuk kata-kata yang tidak perlu diucapkan. Ayase meraih tangan Silvia, yang masih terbalut dalam cahaya keemasan yang samar.
“Kamu telah menulis ulang dunia ini. Takdirmu sudah ditentukan. Tapi jangan lupakan kita… kita masih memiliki waktu bersama, Silvia,” Ayase berkata dengan lembut, meski ada sesuatu yang lebih dalam yang tersirat dalam kata-katanya. Wajah Ayase, yang biasanya dingin dan tertutup, kini memancarkan sedikit kelembutan yang belum pernah terlihat sebelumnya.
Silvia menatap tangan Ayase yang menggenggamnya, dan untuk pertama kalinya setelah perubahan itu, ia merasa sedikit lebih tenang. Mungkin karena dunia yang mereka hadapi belum sepenuhnya terjawab. Mungkin karena dirinya sendiri belum sepenuhnya menerima warisan kekuatan yang baru saja diberikan.
“Terima kasih, Ayase,” jawab Silvia dengan suara lembut, menahan isak di dadanya. “Aku tidak akan pernah bisa melakukan ini tanpamu.”
Ayase hanya tersenyum tipis, senyuman yang jarang terlihat, namun penuh makna. “Kamu selalu bisa, Silvia. Sekarang, bangunlah. Waktu terus berjalan, dan kita harus siap untuk apa yang datang berikutnya.”











