Langkah kaki mereka menggema di antara reruntuhan kota sihir yang telah lama terkubur dalam sunyi. Sisa-sisa menara sihir menjulang seperti tulang-belulang raksasa, membisu di tengah kabut waktu yang terus berputar tak menentu. Angin membawa serpihan debu bercahaya, seperti abu bintang yang jatuh dari langit retak.
Haruto melangkah di depan, matanya tajam menatap jalan yang terbentang. Di sisinya, Silvia berjalan tenang namun waspada, dan di belakang mereka, Ayase mengikuti dalam diam, matanya menyapu setiap bayangan yang bergerak di antara puing-puing.
Setelah pertemuan yang mengubah segalanya di reruntuhan kota, mereka bertiga telah membuat keputusan. Perjalanan mereka tak lagi hanya soal pencarian, tapi soal penebusan, pemahaman, dan mungkin… penyelamatan dunia yang telah lama kehilangan masa depannya.
“Tujuan kita adalah Menara Katalis,” kata Silvia, memecah keheningan. Suaranya dingin namun tegas. “Tempat terakhir yang masih menyimpan inti dimensi. Jika legenda itu benar, maka di sanalah jawabannya.”
“Kau yakin inti itu masih ada?” tanya Ayase, tak menyembunyikan keraguan dalam nadanya. “Terakhir kali pasukan sihir dikirim ke sana, tak satu pun yang kembali.”
“Kita tidak akan seperti mereka,” sela Haruto. “Kita punya sesuatu yang mereka tidak punya.”
“Apa itu? Kekuatan dari dimensi asing yang belum kau pahami sepenuhnya?” balas Ayase, sengit.
Silvia menatap keduanya dengan tajam. “Cukup. Bertengkar tidak akan membuat perjalanan ini lebih mudah. Kalau kita ingin bertahan hidup, kita harus percaya satu sama lain.”
Ayase mendesah, lalu menunduk. “Maaf… aku hanya… terlalu banyak kehilangan.”
Perjalanan terus berlanjut, menembus medan sihir yang terdistorsi. Hutan kristal yang berdenyut dalam irama waktu, sungai yang mengalir ke atas, dan langit yang berganti warna setiap detik—semuanya adalah warisan dari perang besar sihir yang mengoyak fondasi realitas.
Tiba-tiba, gemuruh terdengar dari kejauhan. Tanah bergetar, dan dari celah di udara, muncul makhluk mengerikan—Chronobeast, hasil distorsi waktu yang melahap apapun di sekitarnya.
“Bentuknya… tidak stabil!” seru Silvia. “Itu berarti ia baru saja lahir dari pecahan waktu!”
Makhluk itu menjulur dengan tentakel bercahaya ungu, menyerang tanpa ampun. Haruto segera melompat ke depan, sihir waktu melingkari tubuhnya, memperlambat serangan lawan dan mempercepat gerakannya.
“Ayase, bantu Silvia! Aku akan menahannya!”
“Kau sendirian melawannya? Itu gila!”
“Percayalah padaku!”
Dalam waktu yang terasa melambat, Haruto menembus serangan makhluk itu dan menancapkan segel dimensi di dada Chronobeast. Dalam ledakan cahaya putih, makhluk itu lenyap. Namun tubuh Haruto terlempar keras, menghantam tanah dengan luka di bahunya.
Ayase segera berlari, memeriksa kondisinya. “Kau… benar-benar bodoh!”
Haruto tertawa kecil, meski wajahnya menahan sakit. “Kau sudah bilang itu sebelumnya.”
“Tetap saja… kau menyebalkan,” gumam Ayase, sambil memakaikan salep sihir pada lukanya.
Silvia hanya diam, memandangi keduanya. Dalam hatinya, perasaan campur aduk. Bahagia karena mereka perlahan membentuk ikatan, namun sekaligus khawatir—karena ia tahu, semakin kuat ikatan itu, semakin besar rasa sakit yang mungkin harus mereka tanggung.
Malam pun tiba. Mereka berkemah di bawah reruntuhan menara tua, api sihir biru menyala redup. Angin membawa aroma tanah tua dan debu sihir. Di tengah keheningan, Haruto berkata,
“Di dunia ini… semua terasa asing. Tapi bersama kalian, aku merasa seperti punya tempat. Aku tak tahu apa yang akan kita temukan di Menara Katalis… tapi aku ingin tetap berjalan.”
Silvia menunduk. “Kau sudah menjadi bagian dari dunia ini, Haruto. Mau tak mau.”
Ayase menatap api unggun, lalu berbisik, “Dan mungkin… kau adalah satu-satunya yang bisa menyelamatkannya.”
Keesokan paginya, mereka tiba di puncak tebing tinggi. Dari sana, Menara Katalis tampak menjulang dalam pusaran kabut dan distorsi waktu. Menara itu seakan menantang langit, berdiri di antara masa lalu dan masa depan.
“Di sanalah segalanya dimulai…” kata Silvia pelan. “Dan mungkin akan berakhir.”
Haruto melangkah maju. “Apa pun yang menanti… kita hadapi bersama.”
Ayase tersenyum kecil, untuk pertama kalinya tanpa sinis. “Akhirnya kau mengatakan sesuatu yang tidak bodoh.”
Dan begitu, tiga langkah pun menyatu dalam satu tujuan. Masa lalu, masa kini, dan masa depan… berjalan bersama menuju takdir.








