Perasaan konsep yang hilang

Malam harinya, Haruto kembali ke apartemen kecilnya. Ia membuka jendela dan menatap langit malam. Di tangannya, tergenggam jam saku perak yang selalu ia bawa—benda yang Zero tinggalkan padanya saat mereka pertama kali bertemu.

Jarumnya tidak bergerak. Selalu berhenti di pukul 00:00.

“Zero… aku tahu kau masih mengawasi.”

Detik itu juga, suara familiar bergema di kepalanya.

“Kau tidak sendiri lagi, Haruto. Waktu telah retak. Dan seseorang sedang mencoba membalikkan masa depanmu.”

Haruto membelalak. Itu bukan suara Zero.

Itu… suara lain.

Suara yang ia kenal dari masa lalunya.

Langit malam menyelimuti kota dengan gemerlap cahaya buatan, tapi di kamar Haruto, dunia seakan hening. Ia menatap jam saku di tangannya—masih menunjukkan pukul 00:00, seperti biasa. Tapi yang tidak biasa adalah suara yang ia dengar beberapa saat lalu.

“Kau tidak sendiri lagi, Haruto. Waktu telah retak.”

Bukan suara Zero.
Itu suara dari… masa lalu. Seseorang yang seharusnya sudah tiada.

“Tsubaki…?”

Nama itu terucap lirih. Haruto menggenggam jam itu erat.

Ia berdiri. Tak bisa menahan rasa penasaran, ia membuka buku catatan khusus yang berisi semua keanehan waktu yang pernah ia alami. Ia menulis cepat:

  • 18:22: Detik berhenti selama 3,7 detik

  • Tidak ada respon dari Zero

  • Suara baru terdengar: perempuan, mengenal namaku

  • Kemungkinan rekahan waktu baru?

Pikirannya berpacu. Jika benar itu suara Tsubaki, adiknya yang hilang saat ledakan tahun lalu… maka waktu tidak hanya retak. Ia terbuka.


Keesokan paginya, Haruto berjalan menuju sekolah seperti biasa. Di sepanjang jalan, pikirannya teralihkan oleh kilas balik masa lalu—saat ia dan Tsubaki tertawa bersama di rumah, saat semua masih normal.

Tiba di gerbang sekolah, suara yang sudah ia hafal menyapa dari samping.

“Hei, Haruto! Kau benar-benar nggak punya semangat pagi, ya?”

Silvia Akane, gadis dengan mata tajam dan suara lantang, menghampirinya dengan langkah ringan. Rambut hitam legamnya diikat rapi, dan dia sudah mengunyah roti isi sambil berbicara.

“Kau begadang lagi, ya?” tanyanya sambil menatap mata Haruto yang sedikit merah.

Haruto hanya mengangguk. “Sedikit.”

Silvia mendesah. “Suatu hari nanti, aku akan curi jam saku itu dan bakar, tahu nggak?”

Haruto nyaris tersedak. “Jangan. Ini penting.”

Dia tidak tahu kenapa Silvia selalu bisa menebak apa yang sedang mengganggunya. Padahal Haruto jarang—hampir tidak pernah—bercerita jujur.

Saat mereka berdua melewati lorong sekolah, tiba-tiba Haruto berhenti. Kepalanya terasa nyeri. Pandangannya kabur sesaat.

Dan waktu kembali berhenti.

Semua membeku.

Silvia membeku—roti yang sedang ia pegang berhenti di udara.

Tapi di ujung lorong, seseorang bergerak.

Siluet hitam, berjubah panjang, dengan cahaya merah samar di tangan kirinya. Sosok itu menatap Haruto dengan senyum tipis.

“Jadi ini… dirimu yang dipilih oleh Zero?”

Haruto mundur setapak. Suara itu bukan suara dari mimpinya. Ini nyata.

“Siapa kau?” tanya Haruto pelan, tangannya mulai bersinar perak.

Sosok itu menyeringai. “Namaku Erebus. Dan waktumu… hampir habis.”

Haruto menatap catatan itu dalam-dalam. Ia menyadari bahwa waktu semakin tidak terkontrol. Suatu kekuatan sedang bekerja di luar kendalinya, mengancam untuk menghancurkan segala yang telah ia kenal. Tapi yang paling membuatnya khawatir adalah suara itu—suara Tsubaki—yang mengarahkannya pada sebuah pintu misterius di antara dimensi waktu yang hancur.

Keesokan paginya, langit pagi yang cerah seakan tak mengerti kegelisahan yang Haruto rasakan. Jalanan kota penuh dengan orang-orang yang terburu-buru menuju pekerjaan atau sekolah mereka, semua berlarian dalam keteraturan yang Haruto tahu sangat rapuh.

Di gerbang sekolah, Silvia Akane—gadis dengan rambut hitam legam yang selalu terikat rapi—menyapa dengan suara keras yang langsung menarik perhatian Haruto.

“Hei, Haruto! Kau lagi-lagi kelihatan lelah! Kau semalam begadang lagi, ya?” Silvia mengunyah roti isi sambil berjalan cepat menuju Haruto, matanya yang tajam seolah bisa menembus apa yang ada dalam pikirannya.

Haruto hanya tersenyum samar. “Sedikit.”
Tapi Silvia tidak puas dengan jawaban itu. “Ayo, jangan bohong. Kalau kau terus begini, nanti bisa jatuh sakit,” katanya dengan nada khawatir, meski berusaha menyembunyikan kekhawatirannya di balik sikap keras kepala.


“Tidak akan, kok,” jawab Haruto, sambil berjalan mendahului Silvia. Namun, meskipun begitu, kata-kata Silvia tetap terasa seperti beban yang menekan jantungnya. Ia merasa sangat kesepian, meskipun ada orang-orang yang peduli padanya. Tidak ada yang tahu apa yang sesungguhnya ia alami.

Mereka memasuki lorong sekolah yang sepi, dan tiba-tiba, Haruto berhenti.

Pandangan kabur, kepalanya terasa pusing, dan perasaan aneh yang ia kenali sebagai tanda bahwa waktu lagi-lagi terhenti.

Semua di sekitarnya membeku.

Bahkan suara berisik di kejauhan—semuanya berhenti. Dunia, seolah-olah, mati seketika.
Namun, di ujung lorong, satu sosok bergerak.

Siluet hitam, berjubah panjang, berjalan perlahan dengan langkah yang tenang. Di tangan kirinya, ada cahaya merah samar yang menyala, memancarkan aura misterius.

Haruto tidak tahu bagaimana perasaan yang menyerangnya. Ada ketakutan, kekaguman, dan perasaan seperti deja vu yang mengalir dalam dirinya. Apa yang terjadi? Mengapa sosok itu bisa bergerak di tengah waktu yang beku?

Sosok itu berhenti, seolah merasakan keberadaan Haruto. Dengan senyum tipis, dia berkata, “Jadi, ini… dirimu yang dipilih oleh Zero?”

Haruto merasakan getaran kuat dalam dirinya. Bukan hanya karena waktu yang terhenti, tapi karena kalimat itu. Zero—entitas yang memberinya kekuatan, yang telah mengajarinya untuk mengendalikan waktu—sepertinya bukan satu-satunya yang mengawasi Haruto.

Haruto berusaha tetap tenang. “Siapa kau?” tanyanya, matanya menyipit, dan tangan kirinya siap mengeluarkan kekuatan.

Sosok itu tertawa pelan. “Namaku Erebus,” katanya dengan suara dingin yang mengiris. “Dan waktumu… hampir habis.”

Pada saat itu, dunia kembali bergerak. Silvia, yang sebelumnya membeku, kini tampak kebingungan, mencoba memahami apa yang terjadi.

“Tunggu… apa yang terjadi?” teriak Silvia, matanya terfokus pada sosok Erebus yang berdiri dengan aura menakutkan di ujung lorong.

Haruto tidak bisa menunggu lagi. Waktu tidak memberi ampun. Ia segera melepaskan energi ruang-waktu yang terkumpul di tangannya, menciptakan dinding energi yang menghalangi Erebus.

“Tidak semudah itu, Haruto,” Erebus berkata, sambil mengangkat tangannya. Cahaya merah dari tangan kirinya meledak, menabrak dinding energi yang baru terbentuk.

Pukulan itu menggetarkan Haruto, namun ia bertahan. Ia tahu bahwa Erebus bukan musuh sembarangan.

Tapi yang lebih menakutkan, Erebus tampaknya sudah mengetahui banyak tentang dirinya—lebih banyak daripada yang Haruto sendiri tahu.

You may also like: