Langit malam sudah tidak lagi cukup untuk menggambarkan ke mana langkah mereka menuju.
Setelah melewati batas-batas dimensi waktu, Haruto dan Silvia berdiri di hadapan sebuah gerbang raksasa—bukan gerbang batu, melainkan pusaran cahaya di tengah kehampaan. Di sekeliling mereka, bintang-bintang seperti menari perlahan, dan suara alam semesta terdengar seperti bisikan yang tak pernah dimengerti.
Silvia menggenggam lengan Haruto erat. “Kita benar-benar akan melintasi bintang?” tanyanya dengan nada takut-takut.
Haruto memandang lurus ke arah pusaran itu. “Jika Titik Nol berada di luar dunia kita… maka ini satu-satunya jalan.”
Tanpa menunggu lebih lama, mereka melangkah masuk.
Tubuh mereka seakan luruh dari dunia lama dan menyatu dalam lorong bercahaya. Saat Haruto membuka matanya, mereka telah berada di tempat lain—di antara gugusan bintang dan galaksi yang bersinar lembut, namun terasa sunyi, sepi, dan jauh dari semua kehidupan.
Tidak ada gravitasi, tidak ada arah. Namun mereka tetap bisa berdiri, berjalan, bergerak… seolah waktu menciptakan jalan bagi mereka.
“Indah sekali,” ucap Silvia lirih. “Tapi terasa… kosong.”
“Karena di sini bukan tempat untuk makhluk biasa,” kata Haruto. “Tempat ini hanya ada bagi mereka yang bisa mendengar panggilan waktu.”
Suara itu tiba-tiba hadir. Sebuah gema pelan yang datang dari segala arah. Haruto berhenti. Silvia juga. Cahaya di sekitar mereka mulai meredup, dan dari kegelapan muncul sesosok bayangan. Siluetnya samar, tetapi matanya yang merah menyala tak bisa disalahartikan.
“Erebus…” desis Haruto.
Sosok itu tidak langsung menyerang. Ia hanya melayang perlahan, mendekat tanpa suara, seperti bayangan yang tak terikat waktu.
“Jauh-jauh kalian datang hanya untuk mengikuti takdir yang telah kupatahkan sejak awal,” katanya dengan suara dalam dan bergetar. “Titik Nol bukan tempat bagi mereka yang menginginkan keadilan. Itu adalah titik akhir.”
Haruto maju satu langkah, menggenggam erat pedangnya. “Dan kami di sini untuk memastikan itu bukan awal kehancuran.”
Erebus tertawa pelan. “Kau pikir pedang itu cukup untuk mengubah arah bintang-bintang?”
Silvia berdiri di sisi Haruto. Wajahnya tidak lagi menunjukkan ketakutan. “Mungkin tidak. Tapi kehendak kami jauh lebih kuat dari takdirmu.”
Cahaya di sekitar mereka berubah menjadi kilatan tajam. Erebus lenyap seperti bayangan yang dibuyarkan cahaya. Tetapi gema tawanya masih tertinggal di antara bintang-bintang.
“Dia sedang mengulur waktu,” kata Haruto sambil menatap ke depan. “Kita harus lebih cepat.”
Silvia menatap ke lajur cahaya yang terbentang seperti jembatan di antara galaksi. Di kejauhan, ada titik cahaya kecil yang berkedip—satu titik yang memanggil mereka, tempat semua ini akan berakhir atau dimulai kembali.
Tanpa berkata-kata lagi, mereka melangkah bersama. Menembus ruang, melawan waktu. Karena satu hal sudah pasti—mereka tidak hanya menyeberangi bintang, mereka menantang takdir itu sendiri.









