Pintu menuju kegelapan

Cahaya yang memancar dari buku itu semakin terang, memancar seperti sinar matahari yang datang dari celah di antara awan gelap. Haruto dan Silvia terpesona, namun ketegangan yang membungkus hati mereka membuat setiap detik terasa begitu berat. Suara bisikan yang terus bergema dalam pikiran mereka membuat suasana semakin intens.

“Haruto, apa yang sedang terjadi?” Silvia berbisik, suaranya sedikit gemetar. Ia merasa seperti ada sesuatu yang bersembunyi dalam cahaya itu, sesuatu yang lebih gelap daripada apa pun yang pernah ia bayangkan.

Haruto tak menjawab langsung. Ia terlalu terfokus pada apa yang ada di dalam buku tersebut. Halaman demi halaman tampak seperti berputar di hadapannya, seolah buku itu mengungkapkan kebenaran yang jauh lebih besar dari sekedar apa yang bisa mereka pahami. Kata-kata itu seperti hidup—mengalir, bergerak, mempengaruhi mereka dengan cara yang tidak bisa dijelaskan.

Ketika Haruto menyentuh salah satu halaman, sebuah suara keras tiba-tiba terdengar di luar. Suara itu bukan dari buku, tetapi dari luar rumah—sebuah guntur yang begitu keras seakan menggetarkan tanah. Pintu rumah yang sudah tua itu bergetar hebat, dan jendela-jendela yang retak tampak menggelepar, seakan menahan kekuatan yang datang dari luar.

Silvia terkejut, melangkah mundur sedikit, matanya memandang Haruto dengan ketakutan yang semakin besar. “Apa itu? Apa yang terjadi di luar sana?”

Haruto menatap dengan tajam, mencoba menyaring suara-suara yang datang dari luar. Ada sesuatu yang besar bergerak di luar sana—sesuatu yang tidak bisa mereka lihat, tetapi bisa mereka rasakan. “Itu bukan kebetulan,” kata Haruto dengan suara yang lebih dalam, merasakan bahwa dunia di luar rumah ini sedang bergerak menuju mereka.

Wanita yang sebelumnya menemani mereka muncul kembali dari bayang-bayang, wajahnya kini lebih serius daripada sebelumnya. “Kalian harus pergi sekarang,” katanya dengan suara yang penuh urgensi. “Waktu kalian semakin sedikit.”

“Pergi?” tanya Silvia, bingung. “Ke mana? Apa yang harus kami lakukan sekarang?”

Wanita itu tidak menjawab langsung. Ia menatap buku di tangan Haruto dengan cemas. “Buku itu hanya membawa kalian sejauh ini,” katanya. “Sekarang, kalian harus mengambil langkah pertama yang lebih besar. Jika tidak, dunia yang kalian kenal akan hancur.”

Kata-kata itu menggema di kepala Haruto, membuatnya semakin bingung. Tetapi, sebelum ia sempat bertanya lebih lanjut, suara berderak keras terdengar dari luar rumah. Lantai di bawah mereka bergetar. Terasa seperti sesuatu yang sangat besar dan kuat sedang mendekat. Kekuatan yang mengancam untuk meruntuhkan seluruh tempat mereka berdiri.

Haruto memutuskan untuk tidak menunggu lagi. “Kita tidak punya waktu,” katanya, suara yang penuh dengan tekad. Ia menatap Silvia. “Ikuti aku. Kita harus pergi.”

Mereka berlari keluar dari rumah, mengabaikan rasa takut yang menggelayuti hati mereka. Begitu melangkah ke luar, mereka disambut dengan pemandangan yang luar biasa—langit yang gelap, hampir hitam, dan udara yang dipenuhi kabut tebal yang mengaburkan pandangan mereka. Di kejauhan, mereka bisa melihat bayangan besar yang bergerak cepat, seperti makhluk raksasa yang berusaha mengejar mereka.

Silvia berlari lebih cepat, tangannya menggenggam erat tangan Haruto. “Apa itu, Haruto? Apa yang sedang terjadi di dunia ini?”

“Aku tidak tahu,” jawab Haruto, namun ada rasa keteguhan dalam suaranya. “Tapi kita harus menemukan jawaban. Kita harus mencari tahu apa yang ada di balik semua ini.”

Wanita itu muncul di samping mereka, berjalan dengan kecepatan yang lebih tenang meskipun keadaan semakin kacau. “Kalian tidak bisa melarikan diri,” katanya, suaranya tenang meskipun ada ancaman yang jelas di sekitar mereka. “Apa yang datang itu tidak akan membiarkan kalian pergi begitu saja.”

Haruto dan Silvia berhenti sejenak, merasa seperti terperangkap dalam sebuah lingkaran yang semakin ketat. Mereka berada di tengah-tengah sesuatu yang jauh lebih besar daripada yang mereka bayangkan. Dunia mereka yang semula terasa begitu biasa kini terasa seperti mimpi buruk yang baru saja dimulai.

“Tapi, bagaimana kita bisa melawan ini?” tanya Silvia, suaranya penuh keputusasaan.

Wanita itu menatap keduanya dengan mata yang penuh misteri. “Kalian harus membuka kunci yang lebih dalam di dalam diri kalian. Kunci itu ada di dalam buku yang kalian bawa. Kalian harus melangkah ke dalam kegelapan itu, dan hanya dengan begitu kalian bisa menemukan cahaya yang sesungguhnya.”

Sebelum mereka sempat bertanya lebih lanjut, guntur yang keras terdengar lagi, lebih dekat dari sebelumnya. Sebuah bayangan raksasa muncul di langit, seperti makhluk yang terbuat dari kegelapan itu sendiri, matanya yang bersinar menatap mereka. Ia tampak seperti sesuatu yang tidak dapat dimengerti dengan akal sehat.

“Ini adalah ujian terakhir,” kata wanita itu dengan suara yang lebih dalam. “Jika kalian ingin bertahan hidup, kalian harus siap untuk menjadi lebih dari sekadar manusia.”

Haruto dan Silvia saling berpandangan. Mereka tahu bahwa pilihan mereka tidak lagi ada. Tidak ada jalan mundur. Kegelapan telah datang, dan mereka harus siap untuk menghadapinya, meskipun mereka tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya.

Dengan keberanian yang tersisa, mereka melangkah maju, menuju kegelapan yang semakin mendekat, menyadari bahwa perjalanan mereka baru saja dimulai.

You may also like: