Udara menggetar. Waktu retak.
Dalam sekejap mata—atau bahkan sebelum mata sempat berkedip—pertarungan pecah.
Silvia melesat, mengangkat Chronostigma di tangannya. Ayase menyusul dengan semburan es kristal yang membekukan ruang sekeliling. Namun, Archon dan Archeno tidak hanya menunggu. Mereka tidak bergerak, mereka ada di mana-mana sekaligus. Dan ketika mereka menyerang, bukan ruang yang bergetar, tapi alur realitas itu sendiri.
Satu detik kemudian, dunia pecah.
Pertarungan berubah menjadi sesuatu yang tidak bisa diukur dengan penglihatan manusia biasa—bahkan penglihatan ilahi sekalipun. Mereka berlari, melompat, menebas, memecahkan, membekukan, menghancurkan—semua dalam jalur lintasan waktu. Bukan di satu momen, tapi di semua momen sekaligus.
Mereka bergerak melewati masa sekarang, menyusuri masa depan, lalu kembali menabrak masa lalu—seperti spiral tak berujung.
“Kau melihatnya juga, kan?” bisik Ayase kepada Silvia, meski suaranya hanya gema di antara ribuan versi waktu yang berulang.
“Ya… mereka melawan kita bukan dalam satu waktu, tapi dalam semua waktu yang mungkin terjadi.”
Setiap ayunan pedang Silvia menggandakan dirinya di sepanjang garis waktu. Di satu masa, ia menebas Archon di kota sihir yang belum hancur. Di masa lain, ia menangkis serangan Archeno di sebuah masa depan kelam yang belum terjadi.
Dan Ayase… dia bukan hanya membekukan ruang—tapi juga mematikan waktu itu sendiri. Ketika Archeno bergerak ke masa depan untuk menyusul Silvia, ia menemukan dirinya terperangkap dalam keheningan absolut—waktu tidak bisa maju, tidak bisa mundur. Ia dibekukan dalam keberadaan yang belum sempat terbentuk.
“Ini… kekuatan yang bahkan melampaui makna sebab-akibat,” geram Archon, tubuhnya terpukul mundur oleh hantaman hukum sejati dari Chronostigma.
Di luar pertarungan, cakrawala waktu mulai rusak. Dimensi berdempetan, garis takdir bertabrakan. Setiap langkah mereka menciptakan gema yang mencabik-cabik sejarah. Mereka tidak hanya bertarung, mereka sedang menulis ulang pertempuran ini dalam setiap versi kenyataan.
Dan tak satu pun dari mereka bisa memenangkan pertempuran ini secara mutlak.
Silvia mengayunkan Chronostigma dalam waktu yang belum terjadi—dan menebas versi masa lalu dari Archon. Di saat yang sama, versi masa depan dari Archeno menghantam Ayase—tetapi tubuh Ayase itu sendiri berlapis dengan masa kini dan masa lalu, menyebabkan serangan itu terpental oleh lapisan eksistensi berlapis.
Pertarungan ini berulang.
Dan terus berulang.
Waktu bukan garis lurus, tapi menjadi sirkuit di mana mereka semua terjebak. Mereka tidak hanya berlari dalam satu arah, tapi dalam segala arah secara bersamaan. Setiap gerakan menabrak serpihan kemungkinan lain. Hukum realitas mendesis saat Chronostigma berbenturan dengan inti kehampaan milik para dewa.
“Kita… sedang membentuk inti realitas baru,” kata Silvia, suaranya menggema dari masa depan.
“Atau menghancurkan semua masa depan yang ada,” bisik Ayase, matanya menyala putih membeku.
Kemudian, untuk sesaat, segala sesuatu berhenti.
Pertarungan mereka telah mencapai kecepatan melampaui waktu itu sendiri, membuat semesta berhenti memproses keberadaan mereka. Dalam jeda itu, mereka saling berhadapan—empat entitas yang tidak lagi bisa diklasifikasikan sebagai manusia atau dewa.
Satu sisi adalah kekuatan hukum sejati dan pembekuan absolut. Sisi lain adalah kekosongan yang tidak bisa didefinisikan.
Tapi dalam kesunyian itu—jauh di kedalaman NON, sesuatu mulai bergerak.
Satu denyut.
Sebuah denyut yang menggema di luar waktu, terlalu awal untuk disebut hadir, tapi terlalu kuat untuk diabaikan. Meskipun Haruto belum muncul, dunia telah mulai merasakannya. Kehadirannya yang tertidur memancarkan sinyal yang mulai membelah batas-batas NON.
Dan Archon merasakan itu. Archeno menoleh ke arah yang tak terlihat, matanya menyipit dalam keheningan.
“Dia… mulai bangun.”