NON adalah ruang yang tidak memiliki batas.
Namun bukan berarti ia bebas.
Ia terdiri dari lapisan-lapisan—setiap lapisan adalah cangkang dari realitas yang ditolak, dimensi yang tak pernah lahir, konsep yang tak pernah selesai ditulis. Dan di tengah lapisan kelima, Haruto mulai bergerak.
Bukan tubuhnya, bukan pikirannya.
Tapi intinya—jembatan dari semua hukum, penyeberang dimensi, denyut yang menjadi pusat dari waktu yang pecah.
Di atas lapisan ketujuh, tempat Silvia dan Ayase masih bertarung melawan Archon dan Archeno, udara mendadak berubah. Bukan suhu yang berubah, bukan pula cahaya—melainkan arah dari eksistensi itu sendiri.
Archon menghentikan geraknya.
Archeno memejamkan mata, mendengar sesuatu yang tak memiliki suara.
“Ia mulai menyerap,” kata Archon, perlahan, seolah sedang membaca naskah purba yang terlupakan.
“Lapisan NON tidak bisa disentuh tanpa harga,” sahut Archeno, suaranya berat seperti gema kehampaan.
“Tapi ia bukan menyentuh. Ia… menjadi.”
Langit retak. Bukan langit dalam arti biasa, melainkan batas konseptual antara lapisan NON. Di bawah sana, Haruto belum benar-benar bangkit. Ia masih tertidur. Tapi tubuhnya sudah menyatu dengan lapisan kelima—mulai menyerap substansi energi tak terbatas yang membentuk lapisan-lapisan NON.
Bukan sihir. Bukan kekuatan.
Tapi esensi kosong dari semua yang tidak pernah eksis.
Dan itu membuat para dewa gelisah.
“Jika ia menyerap lebih banyak… ia akan bisa menembus lapisan ketujuh,” gumam Archon. “Dan itu berarti… ia bisa memasuki dunia mereka.”
“Belum. Masih ada waktu,” kata Archeno, menatap Silvia dan Ayase dari kejauhan. “Kita hanya perlu memastikan mereka cukup sibuk.”
Silvia, dari kejauhan, telah merasakan getaran aneh itu.
Chronostigma di tangannya berdengung, bukan karena serangan, tapi karena resonansi.
Resonansi dengan titik pusat waktu yang mulai membentuk ulang jalurnya.
“Dia sedang bergerak…” bisik Silvia. “Dia tidak bisa langsung ke sini. Tapi dia mulai menyerap.”
Ayase menatap ke bawah, ke arah kegelapan yang tak memiliki bentuk. Ia tahu—NON tidak memiliki dasar, tapi memiliki kedalaman.
Dan di kedalaman itu, Haruto sedang membiarkan tubuhnya diserap oleh lapisan, bukan untuk mati, tapi untuk menjadi jalur itu sendiri.
“Jika dia menyatu dengan lapisan… maka dia tidak akan hanya menyeberangi NON. Dia akan menulis ulang bentuknya sendiri untuk bisa masuk ke sini.”
“Dan itu… akan mengubah semuanya,” desah Silvia.
Namun, bahaya tidak berhenti di sana.
Archon dan Archeno tidak bodoh. Mereka tahu mereka tidak bisa menghentikan Haruto. Tapi mereka bisa mengganggu jalur transisinya. Dan untuk itu, mereka harus mempercepat kejatuhan Silvia dan Ayase—sebelum Haruto mencapai dimensi yang mereka tempati.
“Kita punya satu tujuan sekarang,” kata Archon pada Archeno. “Buat mereka jatuh sebelum ia naik.”
“Jika tidak, ketika Haruto muncul… bahkan waktu pun tidak bisa menyembunyikan kita lagi.”
Dan dengan itu, mereka bergerak kembali—kali ini dengan kekuatan penuh.
Bukan hanya menyerang Silvia dan Ayase.
Tapi mulai membelah lapisan ketujuh itu sendiri.
Ruang menjadi celah.
Waktu menjadi pisau.
Hukum menjadi abu.
Ayase melebarkan tangannya, menciptakan lapisan kristal yang mencoba melindungi dimensi, tapi bahkan Absolute pun bergetar menghadapi kekuatan yang berasal dari kekosongan sebelum konsep itu lahir.
“Mereka tahu dia datang,” ucap Ayase. “Dan mereka ingin kita tidak ada di sini saat ia muncul.”
“Maka kita harus bertahan…” Silvia menegakkan tubuhnya. Chronostigma menyala seperti komet yang menolak dilenyapkan. “…hingga dunia cukup siap untuk menerimanya kembali.”
Di kejauhan, sebuah cahaya perlahan muncul—seperti pintu tanpa bentuk.
Cahaya itu bukan dari dunia ini.
Itu adalah denyut, napas, dan langkah pertama Haruto menuju lapisan ketujuh.
Bukan dengan kekuatan.
Tapi dengan perubahan esensi—dengan menjadi bagian dari lapisan itu sendiri.
Dan begitu ia selesai menyerap…
Tidak ada yang bisa mencegahnya untuk kembali.