Darah tidak mengalir di dunia ini.
Tapi saat tangan besar milik Archon dan Archeno menembus tubuh Silvia, hukum realitas sendiri yang berdarah.
Tubuh Silvia melayang diam, mata terbuka lebar tanpa suara.
Tangan raksasa Archeno masih menembus punggungnya, dan Chronostigma di dada Silvia—yang biasanya bersinar keemasan—bergetar liar, memancarkan retakan cahaya putih yang menyala dengan kepedihan tak terucapkan.
“Kau terlalu sibuk menatap ke bawah, pewaris hukum,” bisik Archon, suaranya seperti gema kehampaan.
Ayase tidak menyadari. Ia berada beberapa langkah di belakang, masih memusatkan pikirannya menahan celah waktu yang coba dibuka kedua dewa itu di lapisan ketujuh.
Namun sebuah pikiran menamparnya keras:
“Mengapa aku tidak mendengar suara Silvia? Mengapa… dia terlalu diam?”
Saat Ayase berbalik, dunia seperti terlambat bereaksi.
Tubuh Silvia telah dilempar—bukan jatuh, tapi dilempar seperti bintang jatuh—menghantam pegunungan sihir di kejauhan, menciptakan ledakan besar yang meruntuhkan lereng dan langit di sekitarnya.
Ayase membeku.
Namun bukan karena kekuatan lawan.
Tapi karena ia menyadari sesuatu yang jauh lebih fatal:
“Kita memang memiliki kecepatan yang tak terikat waktu. Tapi justru karena itu… kita tidak bisa benar-benar merespons.”
Mereka—ia, Silvia, bahkan para dewa—bergerak dalam kecepatan mutlak yang melintasi masa lalu dan masa depan.
Namun pada kecepatan itu, reaksi instan menjadi mustahil.
Setiap keputusan terlambat.
Setiap emosi tertinggal.
“Ini… bukan tentang siapa yang lebih cepat,” Ayase membisikkan kepada dirinya sendiri. “Ini tentang siapa yang sudah berada di sana sebelum waktu bergerak.”
Archon tertawa, melihat kehancuran di kaki gunung.
“Satu sudah jatuh. Tinggal satu lagi.”
Archeno berjalan pelan ke arah Ayase, namun setiap langkahnya seperti memindahkan ruang. Ia tidak berjalan di dunia, melainkan melipat jarak itu sendiri.
“Jangan terlalu terpaku pada kakakmu, Inkarnasi Absolute,” bisik Archeno, “Kau berikutnya. Dan saat kau jatuh… Haruto tidak akan punya apa pun untuk kembali padanya.”
Ayase menatap mereka, matanya tidak lagi biru, tapi putih beku, seperti es yang telah kehilangan semua warna.
Aura Absolute mengembang, bukan seperti serangan, tapi seperti keheningan yang menghapus semua suara.
Namun di dalamnya, ada rasa bersalah yang dalam.
“Silvia… aku… aku tidak sempat menolongmu…”
Dan saat itulah—dari kedalaman lapisan NON, sesuatu berguncang.
Bukan getaran biasa. Tapi pergeseran arah eksistensi.
Di dalam lapisan kelima NON, Haruto tidak lagi hanya menyerap.
Tubuhnya sudah terurai, menjadi pola rune, arus waktu, dan gelombang konsep yang menyatu dengan lapisan.
“Silvia… Ayase…”
Ia tidak melihat. Ia merasakan.
Dan rasa itu membakar lebih dalam dari waktu.
Ia masih belum bangkit.
Tapi reaksinya terhadap rasa sakit Silvia dan keterancaman Ayase menciptakan proyeksi bayangan—cahaya bentuk awal—yang mulai muncul di antara realitas.
Dan bayangan itu—meski belum utuh—telah mulai mengubah jalur lapisan ketujuh.
Di langit, garis waktu retak seperti kaca.
Dan bayangan Haruto perlahan turun, bukan sebagai penyelamat…
…tapi sebagai penegas batas kekuatan para dewa.