Hukum yang gugur

Dunia ini… bukan hanya retak.
Dia terkoyak.

Langit kehilangan sumbu.
Tanah menolak pijakan.
Udara bergetar, namun tak menyuarakan apapun.

Di tengah-tengahnya tercabik-cabik, Ayase Akane berdiri membeku—bukan karena kekuatannya sendiri, tapi karena kenyataan yang tidak bisa diterima oleh jiwa.

Di ujung kawah yang tercipta dari tabrakan dimensi dan kekuatan para dewa,
di antara serpihan hukum yang terbakar dalam api tak kasatmata,
terbaring tubuh Silvia Akane —diam, hening, dan tidak lagi hidup.

Chronostigma di payudara retak.
Simbol hukum sejati terbelah… dan cahayanya padam.

Ayase menatap tanpa mengerti. Waktu di dalam dirinya membeku, namun pikirannya terus mencair dalam ketidakpercayaan. Langkah demi langkah ia mendekati sosok itu. Satu langkah. Dua langkah. Seratus ribu langkah terasa seperti satu.

“Silvia…?” bisiknya, seolah hanya dengan menyebut namanya, waktu bisa mundur.

Namun tidak ada jawaban.
Tidak ada napas.
Tidak ada gema kekuatan.

Yang ada hanyalah kesunyian hukum yang telah gugur.


Di balik celah langit yang terdistorsi, Archon dan Archeno melayang tinggi, membentuk siluet seperti patahan cerita mitologi yang telah hilang dari sejarah. Mereka bukan hanya kuat—mereka adalah personifikasi cerita yang tak pernah ditulis.

Archeno memburuk, suaranya seperti retakan di tulang waktu.

“Lucu sekali. Hukum mati. Padahal katanya… hukum tak bisa mati.”

Archon tertawa pelan, berat, seperti dua galaksi melonjak dalam ironi.

“Anak kecil itu… bahkan tidak sempat berteriak. Dia pewaris hukum? Tertawa sajalah.”

Ayase menggenggam tangan Silvia.

Dingin.

Tapi tidak dingin seperti Absolute yang ia miliki.

Ini dingin yang tidak bisa dibalikkan.
Dingin yang tidak bisa membeku lagi.
Kematian yang dingin.

“Kakak…”
“Jangan tinggalkan aku…”
“Aku sudah menunggumu terlalu lama… terlalu lama…”

Dan kemudian… Ayase menangis.

Tangis yang tak mengeluarkan udara.
Tangis yang membekukan tanah di sekitarnya dalam lingkaran diametrik energi.

Tangis yang mengubah struktur kenyataan.


Para dewa masih tertawa.
Mereka tidak takut.
Mereka tidak mengerti cinta. Tidak mengerti kehilangan.

Karena mereka lahir dari kehampaan yang tidak pernah mengenal arti memilikinya.

Dan saat Archeno turun perlahan, mendekati Ayase yang terduduk lemah sambil memeluk tubuh kakaknya…

“Kau yang berikutnya, Putri Dingin.
Tangismu manis. Tapi ini bukan kisah yang membiarkanmu hidup.”

Ayase tidak menjawab.

Namun di dalam ketakutan, sesuatu mulai pecah.
Bukan hanya kesedihan—tetapi ke kekecewaan.
Tanpa Silvia, keseimbangan Absolut mulai kehilangan jangkar realitasnya.
Dan kekuatan Ayase… tidak tahu mana yang harus dicabut.


Sementara Itu di NON

Di lapisan terdalam, di dalam alam kekosongan di mana Haruto masih menyatu dengan struktur kemungkinan,
ia duduk dalam kenyamanan, tubuhnya perlahan menyerap lapisan demi lapisan energi.

Dia belum tahu.
Belum tahu bahwa sosok yang selalu berdiri di sisinya… telah tiada.
Belum tahu bahwa saat ia mencoba kembali… dunia sudah kehilangan satu titik hukum.

Dan NON tidak memberi tahu.

Karena di NON, kematian hanyalah perubahan bentuk .
Bukan akhir. Tapi bukan juga awal.


Di dunia hukum yang mulai runtuh, langit terbelah.

Tangisan Ayase menggetarkan struktur yang bahkan para dewa pun tak sadarkan diri.

Dan di awal, salju mulai turun untuk pertama kali di tengah-tengahnya.

You may also like: