Absolute zero!!!

Segalanya hening.

Setelah tubuh Silvia dilubangi dan terlempar melintasi gunung hingga raganya remuk,
Ayase berjalan tertatih, melewati medan puing dan kehancuran.
Kakinya menyentuh tanah yang retak oleh tekanan energi para dewa.
Namun langkahnya kehilangan arah—bukan karena musuh yang mengintai,
melainkan karena ia tak menemukan jawaban dari dunia yang hancur ini.

Dan di sana, ia melihatnya.

Silvia.

Tubuh kakaknya terletak diam.
Membentuknya darah berkumpul di bawah tubuhnya, menyatu dengan dunia puing-puing yang pernah sakral.
Mata terpejam, tangan terbuka, seperti ingin memeluk…
…tapi tak ada siapa pun di sana untuk menyambutnya.

Ayase berlutut.
Tubuhnya gemetar.
Tangannya meraih wajah Silvia, memeluknya, menekan tubuh itu ke dada.

“Kak… Silvia… bangun… aku di sini… kak… Silvia…”

Tak ada jawabannya.
Bahkan tidak ada denyut dari tubuh itu.
Apalagi hukum kehidupan pun telah meninggalkannya.

Ayase memeluknya lebih erat.
Pundaknya mulai basah oleh air mata.
Tangisnya tak lagi lirih, tapi menjadi dentuman emosi yang menggemparkan kenyataan.

Dan saat itulah…
Langit pecah.


Sesuatu dalam dirinya… terputus.

Bukan hanya emosi.
Bukan hanya ketenangan.

Tapi semuanya berada pada kenyataan normal.

Ayase Akane tak lagi menjadi manusia.
Ia bahkan bukan lagi hanya Inkarnasi Absolut.
Ia adalah hukum baru, dan hukum itu berkata:

“Sudah. ​​Hilang. Tidak ada.”


Dalam sekejap alam semesta membeku, kenyataan itu sendiri tidak lagi berlaku.
Medan tempat mereka runtuh, bukan oleh ledakan, tapi oleh hilangnya eksistensi.
Langit dan tanah meledak menjadi retakan spasial yang berubah menjadi pecahan.

Waktu berhenti.
Dimensi tercerai berai.
Bintang, planet, dan lapisan-lapisan multisemesta dan retak.

Ayase mengangkat wajahnya.
Air matanya telah membeku sebelum jatuh ke tanah.
Tatapannya bukan lagi manusiawi—itu adalah ilusi yang mutlak.

Para dewa tidak dapat bergerak!!! 

Archon dan Archeno, dua dewa cerita dari menggigil, berdiri di atas tertidur.

“Ini… kekuatan yang tidak tertulis…”
“Apa dia sudah menyatu dengan dunia ‘inti mutlak’?”

Mereka ingin bergerak, namun tak bisa.
Karena kini, bukan kecepatan yang lawan mereka…
…melainkan ketiadaan.

Kehadiran absolute zero.!!! Ayase menatap mereka, dan berbicara tanpa suara.
Suara itu tidak terdengar, tapi langsung masuk ke dalam jiwa mereka.

“Kalian menyentuh keberadaannya.
Maka sebagai konsekuensinya, kalian tak lagi berhak ‘ada.’”

Dan itulah kalimat terakhir yang mereka dengar sebagai entitas yang utuh.

Dalam sepersekian detik, Ayase tidak menyerang mereka.
Ia menghapus mereka.

Bukan membunuh.
Bukan menghancurkan.
Tapi menghapus dari cerita.

Tubuh Archon perlahan menghilang dari pusat ke pinggir, seperti cat yang dihapus dari kanvas.

“Tidak… Tidak… Aku—AKU DARI CERITA YANG—”
Hapus.

Archeno berteriak dalam bahasa yang tak dikenal kenyataan,
tapi tak satupun suara keluar dari eksistensinya.
Ia mulai memudar…
wujudnya mengabur…
…dan akhirnya menghilang seperti tidak pernah ada.

Seluruh alam semesta membeku Hingga membuat aliran waktu alam semesta berhenti. 

Ayase berdiri di tengah terkejut.
Sekarang, tak ada musuh.
Tak ada langit.
Tak ada bumi.
Tak ada suara.

Hanya satu nama yang terngiang dalam hati kosongnya: Silvia.

Ia jatuh berlutut, memeluk kembali tubuh kakaknya yang kini membeku sempurna bersama waktu.
Air matanya tetap mengalir—walaupun dunia telah berhenti.


Sementara itu, jauh di NON…

Haruto berdiri dalam keheningan.

Kakinya menyentuh lapisan NON yang berdenyut ringan seperti nadi kosmik.
Ia menatap ke atas, ke arah yang bahkan tak memiliki arah,
dan merasakan sesuatu…
…terputus.

“Silvia…?”

Ia tidak tahu apa yang terjadi.
Ia baru tahu bahwa Ayase kini sendirian…
…dan kehendak semesta berubah menjadi dingin.

You may also like: