Nol Mutlak.
Kekuatan yang menjadi bagian dari dirinya.
Kekuatan yang tidak membutuhkan mantra.
Kekuatan yang tidak memerlukan niat.
Kekuatan yang terus bekerja… selama energi sang pengguna belum habis.
Dan Ayase…
Sebagai Inkarnasi Mutlak,
memiliki stamina dan energi yang tak terbatas.
—
Dalam keheningan itu, kenyataan mulai pecah.
Bukan atas keinginan Ayase.
Bukan karena kemarahan atau kebencian.
Tapi karena kekuatan untuk berhenti.
Langit yang telah membeku mulai larut ke dalam putih murni.
Lautan runtuh bukan sebagai air, tapi sebagai narasi yang kehilangan makna.
Bintang, planet, bahkan waktu dan ruang terurai menjadi penggalan kisah yang tak pernah ditulis.
Semua kenyataan… mulai menghilang.
“Berhenti…”
Suaranya pelan.
“Berhenti… aku sudah tidak ingin menghancurkan apa pun…”
“Aku hanya ingin dia kembali…”
Namun tidak ada yang mendengarkan.
Bukan karena dunia menolak.
Tapi karena dunia sudah tak ada.
Kehancuran Tanpa Sisa
Ayase membuka matanya.
Tubuh Silvia di pelukannya… mulai memudar.
Tidak membeku.
Tidak pecah.
Namun lenyap dari eksistensi itu sendiri.
“Tidak… TIDAK!!”
Ia mencoba menahan, memeluk lebih erat.
Namun lengannya hanya memeluk memeluk.
Sisa kehangatan itu—yang seharusnya menjadi penopang kehangatan—menghilang.
Karena kekuatannya sendiri.
Karena dia lupa…
“Kekuatan yang tidak mengikat niat, tidak pernah tahu kapan harus berhenti.”
Ayase Menyadari
Saya terdiam.
Sendiri.
Di tengah ketegangan.
Tidak ada yang bisa dilakukan.
Tidak ada bayangan.
Bahkan tidak ada dirinya dalam pantulan eksistensi.
Semuanya telah dihapus.
“Aku… sendirian…?”
Tangannya gemetar.
Matanya kehilangan cahaya.
Dia tidak bisa menangis lagi.
Karena tak ada air mata yang tersisa di dunia yang tidak ada.
Penyerahan Tanpa Tempat
Penyesalan simpanan Ayase seperti kabut tanpa bentuk.
Namun tak ada tempat untuk melarikan diri.
Tidak ada ruang untuk memperbaiki.
Karena tidak ada dunia lagi untuk dituju.
“Maaf… Silvia…”
“Aku ingin membalas mereka… aku ingin melindungimu…”
“Tapi justru aku… menghapus semuanya…”
Tubuhnya melayang di tengah kehampaan.
Kekosongan yang ia ciptakan sendiri.
Bukan karena kehendak jahat…
…tapi karena cinta yang berubah menjadi senjata penghancur.
Dan kini, tidak ada siapa pun yang bisa menyesali penyesalannya.
Di sinilah Ayase sekarang berada.
Tidak melayang.
Tidak berdiri.
Tidak ada.
Tempat ini… tidak punya “dimensi”.
Tidak punya “waktu”.
Tidak punya “ruang”.
Dan tidak punya arti.
Ayase Tanpa Dunia
Ia tidak bisa merasakan tubuhnya.
Tidak bisa melihat apa pun.
Tidak bisa mendengar.
Tidak bisa berbicara.
Namun… dia tetap sadar.
Sadar dalam wujud paling telanjang dari keberadaan:
Pikiran yang tidak bisa mati.
Jiwa yang tidak bisa pergi.
Dan perasaan yang tidak bisa diungkapkan.
Yang tersisa hanya satu hal:
Penyesalan.
Bayangan yang Tidak Ada
Ia tidak bisa mengingat dengan jelas wajah Silvia.
Karena semua yang menyimpan jejak ingatan itu telah terhapus oleh kekuatannya sendiri.
“Kakakku…”
“Aku tidak ingat warna matamu.”
“Atau bagaimana kau tersenyum terakhir kali aku…”
Setiap kali ia mencoba mengingat,
wajah Silvia muncul sebagai pecahan retak,
seperti lukisan yang disiram hujan tinta putih—luntur dan pecah sebelum bisa ditangkap.
Itu hukuman pertamanya.
Tempat Ini Tidak Bernama
Jika ada yang bisa menyaksikan Ayase sekarang,
mereka tidak akan tahu siapa atau apa dia.
Karena identitas adalah konsep yang sudah hilang di tempat ini.
Tak ada nama, tak ada gelar, tak ada peran.
Ayase Akane?
Inkarnasi Absolut?
Pewaris Nol?
Tidak ada yang tersisa.
Saya ingin menjerit.
Namun tidak ada suara.
Saya ingin menangis.
Namun tidak ada air mata.
Saya ingin mati.
Namun tidak ada kematian di sini.
Penyiksaan Abadi
Apa hukuman terbesar bagi seseorang yang kehilangan segalanya?
Tidak kehilangan dunia.
Bukan kehilangan orang yang dicintai.
Tapi tetaplah hidup untuk mengingat bahwa itu semua kesalahanmu.
Ayase tidak bisa melupakannya.
Otaknya tidak bisa dihapus.
Hatinya tidak bisa berhenti memutar ulang:
—Bagaimana dia membekukan alam semesta…
—Bagaimana tubuh Silvia pudar di pelukannya…
—Bagaimana dia tidak sadar kekuatan menghapus dunia itu sendiri…
—Dan bagaimana ia mengetahui bahwa dia tidak bisa menahan kekuatan…
“Maaf… aku ingin menghentikan… sungguh…”
“Tapi kekuatan ini… tidak butuh niat…”
“Ia hanya…terus bekerja…”
Lebih Dari Sekadar Kesendirian
Ia mulai lupa berapa lama dirinya berada di tempat ini.
Bukan karena waktunya panjang…
Tapi karena waktu itu sendiri tidak ada.
Ia tak bisa menolak.
Tak bisa mati.
Tak bisa berkembang.
Dan tidak bisa melarikan diri.
Bahkan rasa bosan pun tidak ada.
Karena merasa bosan, seseorang perlu memiliki waktu untuk membandingkan.
Ayase tidak punya itu.
Satu-satunya Suara
Dalam jeda yang bukan detik,
bukan menit,
bukan abad,
hanya sesaat tak bernama…
Ia mendengar suaranya sendiri di dalam kepala.
“Apa kau puas?”
“Kau membalas dendam… dan kehilangan segalanya.”
“Kau ingin melindungi… dan justru menghapus.”
“Sekarang, kau sendirian. Bukan di dunia. Tapi di luar dari gagasan dunia itu sendiri.”
“Silvia… kalau aku bisa kembali…”
“Kalau… aku bisa ulangi semuanya…”
Namun dia tahu.
Di sini, tidak ada ‘jika’.
Tidak ada ‘ulang’.
Tidak ada Harapan.
Sementara itu… jauh dari NON
Haruto duduk diam,
bersinar pelan, mencoba membuka lapisan demi lapisan eksistensi.
Namun satu lapisan tidak bisa disentuh.
Lapisan itu tidak memancarkan energi apa pun.
Bukan karena kosong…
Tapi karena itu terlalu utuh untuk dikenali.
Sesuatu—atau seseorang—telah masuk ke luar dari luar kenyataan itu sendiri.
Haruto menatap ke arah itu.
Matanya perlahan berubah warna.
“Silvia… Ayase…”
Namun dia belum tahu…
Yang akan ia hadapi nanti bukan lagi dunia,
tidak juga kaku,
melainkan penghapus akhir dari semua kemungkinan:
Seorang gadis yang ingin mencintai… namun menghapus makna cinta itu sendiri.