Atur ulang!

Tak ada suara.
Tak ada cahaya.
Tak ada batas.
Tak ada arah.
Tak ada bahkan konsep “ada”.

Ayase Akane berada di sana—atau lebih tepatnya, terkubur di sana.
Di kedalaman yang tak bisa dijelaskan oleh bahasa manusia maupun dewa.
Tempat di mana “kekosongan” pun kehilangan makna.

Ayase tidak menangis lagi. Tidak bisa.
Air matanya sudah berhenti sejak dunia, waktu, dan bahkan kenangan akan kakaknya,
hilang dalam ledakan kekuatan yang tak pernah dia niatkan.

Ia duduk sendiri di atas tak berujungnya kehampaan, memeluk tubuhnya yang terasa ringan namun berat oleh penyesalan.

“Silvia…”
“Kakak… aku… bahkan tak bisa menghentikan diriku sendiri…”

Suara tak terdengar itu tenggelam dalam ruang yang bahkan gema pun tak berani hidup di dalamnya.
Ia telah membekukan semesta, menghapus dewa, dan tanpa sadar menghapus hukum yang menjaga eksistensi dirinya.

Kini ia terdampar… di luar realitas.

Tapi kemudian…

Resonansi yang Membelah Kekosongan
Sebuah denyut halus, kecil, tak kentara…
muncul dari kejauhan.

Tidak berupa cahaya.
Bukan suara.
Tapi sesuatu yang jauh lebih dalam:

Keberadaan.

Haruto.

Ia menembus setiap lapisan eksistensi.
Melewati ruang yang telah dilenyapkan Ayase.
Melewati waktu yang telah berhenti.
Melewati “NON”, tempat semua kemungkinan melebur jadi diam.

Ia tidak muncul sebagai manusia.
Tidak sebagai penyihir.
Tidak sebagai makhluk.

Ia adalah kehendak—inti eksistensi yang tidak tunduk pada apa pun selain cerita itu sendiri.

Haruto menapaki kehampaan, setiap langkahnya menciptakan pijakan di tempat di mana hukum tidak berlaku.

Dan akhirnya, di kejauhan, ia melihat Ayase.

Ayase yang Terluka, Tapi Tidak Hancur
Gadis itu terlihat mungil, rapuh, dan sangat sunyi.
Ia duduk diam, memeluk lututnya, rambut peraknya berantakan oleh kehampaan tak berarah.

Haruto mendekat perlahan.
Ia tidak mengeluarkan suara, tapi Ayase—yang telah kehilangan segalanya—menangis seketika saat merasakan kehadirannya.

“Ha… Haruto…”

Tubuhnya bergetar hebat.

“Aku… membunuh Silvia…”
“Aku… menghancurkan dunia kita…”
“Aku bahkan tidak bisa mati karena kekuatanku…”

Air mata mengalir, bukan karena rasa sakit fisik,
tetapi karena sesuatu yang lebih menghancurkan: penyesalan mutlak.

Haruto tidak berkata apa-apa.

Ia hanya merangkulnya.

Di tempat yang lebih sunyi dari kematian,
satu pelukan dari seseorang yang memahami segalanya lebih dari siapa pun,
mampu membuat hati Ayase bergetar untuk pertama kalinya sejak kehancuran itu.

“Kau tidak salah, Ayase.”

“Kau… hanya terlalu mencintai Silvia.”

“Dan dunia ini… terlalu kejam untuk cinta sepertimu.”

Dengan lembut, Haruto mengangkat tangannya.
Dari telapak tangannya muncul jam transparan yang tak berdetak.
Sesuatu yang bukan Chronostigma, bukan sihir, bukan teknologi.
Tapi penanda cerita.

“Jika dunia ini salah, maka… mari kita ubah ceritanya.”

“Kita kembalikan segalanya…
…bukan ke masa lalu,
…bukan ke alternatif,
tapi ke sebelum segalanya diciptakan…

Dunia Baru Tanpa Dewa
Lalu—
Kehampaan mulai retak.
Ketiadaan berdenyut.
Sesuatu yang tak ada kini mulai ada.

Bukan dunia sihir.
Bukan semesta para dewa.
Bukan dimensi waktu.

Tetapi dunia baru.

Langit biru merekah.
Awan tipis bergerak pelan.
Udara terasa hangat.
Tawa anak-anak menggema di taman kota.
Musik, aroma makanan, obrolan manusia…

Bukan ilusi.
Bukan simulasi.
Tapi dunia nyata yang sederhana.

Di antara itu semua, di puncak gedung tinggi,
Ayase tidur bersandar di dinding tepi,
dengan wajah damai untuk pertama kalinya sejak bab awal kisah mereka.

Haruto berdiri di sampingnya.

“Dunia tempat Silvia dan kau berasal… adalah alam waktu.”

“Alam waktu dikelilingi oleh hukum dan dewa, dan di atasnya adalah alam NON.”

“Untuk mencapai kalian… aku harus menyerap semua lapisan NON hingga tak bersisa.”

“Tapi begitu aku melakukannya… aku tidak hanya bisa menyentuh waktu.”

“Aku bisa menghapusnya.”

Ia menatap langit baru itu.

“Dunia ini tidak akan mengenal nama-nama lama.”

“Tidak ada lagi Chronostigma, Absolute, Void.”

“Tidak ada takdir. Tidak ada eksistensi tertinggi.”

“Hanya… kehidupan yang murni.”

Kesadaran Baru
Ayase membuka mata.
Ia menatap Haruto.

“Silvia…”

Haruto mengangguk pelan, menyentuh rambutnya.

“Dia… ada di dunia ini juga.”

“Tapi kali ini, bukan sebagai pewaris hukum…”

“Tapi sebagai kakakmu. Hanya itu. Dan itu cukup.”

Air mata Ayase jatuh.
Bukan karena sakit.
Tapi karena akhirnya—ia bisa merasa hidup kembali.

You may also like: