Angin lembut berhembus dari langit biru yang tak ternoda.
Burung-burung terbang bebas di atas gedung-gedung tinggi, membawa nada kehidupan yang baru dimulai.
Langkah-langkah manusia memenuhi jalanan—anak-anak tertawa, pasangan muda bergandengan tangan, dan cahaya mentari mencium wajah semua orang dengan hangat.
Di antara dunia baru yang kembali berdetak ini, Haruto duduk di atas tebing bangunan tinggi, memandang ke arah cakrawala.
Di sampingnya, Ayase Akane—yang kini perlahan membuka mata setelah tidur panjangnya di alam kehampaan.
Matanya masih menyisakan bayang-bayang luka.
Tapi kini, tidak lagi berisi penyesalan.
Melainkan rasa syukur dan ketenangan.
Ia duduk perlahan, membetulkan posisi rambut peraknya yang tertiup angin, lalu menatap Haruto… dan tersenyum untuk pertama kalinya sejak kehancuran itu.
“Kau menyelamatkanku… dari diriku sendiri.”
Haruto tak menjawab. Ia hanya menatapnya lembut.
Ayase menunduk, menekan dadanya sendiri, seolah menahan gejolak rasa yang selama ini terkubur dalam diam.
Kemudian, dengan suara gemetar namun jujur, ia berkata:
“Haruto… aku ingin mengucapkan terima kasih.”
“Kau… sudah memenangkan hati yang telah hancur.”
“Bukan dengan sihir… bukan dengan kekuatan… tapi dengan keteguhanmu.”
Ia menggenggam tangan Haruto—erat.
“Dan… aku punya dua permintaan. Yang pertama…”
Ayase berdiri, mengangkat tangan ke langit.
Auranya tak lagi dingin dan membekukan seperti dulu.
Tapi hangat, dan tenang… seperti permulaan kehidupan.
“Aku ingin dunia ini… kembali seperti dulu.”
“Dunia tempat sihir mengalir di udara. Tempat semua orang diberkati oleh keajaiban.”
“Aku ingin semua anak-anak yang terlahir di masa depan memiliki kesempatan untuk tumbuh kuat, belajar, dan melindungi apa yang mereka cintai.”
“Mari dirikan Akademi Sihir… tempat di mana masa depan dilatih, bukan untuk bertarung, tapi untuk menjaga dunia yang mereka cintai.”
Haruto menatap Ayase dengan terkejut.
Tapi kemudian… ia tersenyum kecil.
Ia tahu… itulah jati diri Ayase yang sebenarnya—bukan Inkarnasi Absolute, bukan pembeku hukum semesta, tapi seorang gadis muda yang peduli akan masa depan semua orang.
“Permintaan itu… aku kabulkan.”
Dalam sekejap, udara berubah.
Sihir kembali mengalir di dunia.
Orang-orang yang belum pernah mengenalnya mulai merasakan getaran kekuatan dalam tubuh mereka.
Bintang-bintang sihir muncul di langit malam seperti pelindung tak kasat mata.
Dunia sihir telah terlahir kembali.
Permintaan Kedua
Ayase masih berdiri membelakangi Haruto.
Tangannya menggenggam erat bagian depan dadanya sendiri, seolah jantungnya akan meledak.
“Permintaan kedua…”
Ia menarik napas dalam.
“…ini permintaan egois.”
“Dan aku minta maaf jika ini membuatmu terkejut…”
Ia berbalik. Matanya bersinar lembut—penuh rasa tulus.
“Haruto… selama semua waktu ini, sejak aku kecil, sejak kita melewati badai kehancuran, sejak kau menahan keputusasaan yang tak bisa kupikul sendiri…”
“…aku jatuh cinta padamu.”
Keheningan jatuh seperti kabut di sekitar mereka.
Wajah Ayase memerah, tapi ia tidak menarik kembali kata-katanya.
“Aku tahu aku bukan Silvia… aku tahu aku penuh cacat, penuh dosa, dan penuh ketidaksempurnaan.”
“Tapi jika kau tidak keberatan, jika hatimu bersedia…”
Ia menunduk perlahan, lalu berlutut di hadapan Haruto, dengan nada setengah bergurau, setengah sungguhan:
“Haruto… maukah kau menikah denganku… dan hidup damai di dunia baru ini, yang kau ciptakan dengan tanganmu sendiri… bersama aku yang sudah tak punya apa-apa kecuali cinta padamu?”
Haruto menatap Ayase lama.
Ia diam.
Tapi tidak menolak.
Tak ada penolakan dalam matanya.
Yang ada hanya kehangatan… dan ketenangan yang tak bisa diucapkan dengan kata-kata.
Ia memegang tangan Ayase.
Membantu gadis itu berdiri, lalu memeluknya erat—seerat mungkin.
“Ayase… dunia ini bukan hanya milikku.”
“Dunia ini ada… karena kamu ingin tetap hidup.”
“Dan tentang permintaan keduamu…”
Haruto mengangguk… perlahan.
“…ya.”