Di malam yang sama saat Ayase terbangun dari mimpinya yang membekas dalam, Silvia tertidur dalam keheningan kuil pegunungan. Tapi tidurnya tidak membawa kedamaian biasa. Jiwanya ditarik masuk ke kedalaman yang lebih tua dari waktu, lebih sunyi dari kehampaan.
Dalam sekejap, ia tersadar berada di tengah aula raksasa berkilau. Pilar-pilar cahaya menjulang tinggi, tidak menyentuh langit, dan lantai tempatnya berdiri bukan terbuat dari tanah, tapi dari prasasti hukum kuno yang terus berdenyut pelan. Dinding-dinding istana mengambang di ruang kosong, menciptakan arsitektur tanpa ujung. Di sinilah—Istana Hukum Absolute berdiri, tempat para pengemban hukum sejati pernah dipanggil.
Silvia berdiri di tengah aula utama. Tubuhnya ringan, tapi napasnya tertekan. Cahaya di langit-langit istana membentuk jam matahari besar, namun jarumnya tidak pernah bergerak. Waktu… telah dikunci.
Di hadapannya, muncul sebuah tangga panjang yang menjulang ke takhta yang tak terlihat. Tapi sebelum langkah pertamanya, cahaya mengelilinginya, dan sebuah suara bergema lembut namun sangat tegas:
“Silvia Akane. Pewaris hukum. Penerima Chronostigma. Kau telah dipanggil.”
Langkah kaki bergema di ruang luas itu.
Dari balik pilar hukum, muncullah seorang pria berwibawa, mengenakan jubah panjang berwarna putih dan emas, matanya ditutup oleh pita perak yang mengambang, dan di tangannya tergenggam Chronostigma—pedang yang dulu Silvia panggil, kini berada dalam genggaman orang asing itu.
Namun, tidak. Bukan orang asing—entitas ini dikenal jiwanya oleh Chronostigma itu sendiri.
“Aku adalah Raja Hukum, penguasa tertinggi dimensi pengatur. Pemegang awal pedang yang kini kau pakai. Aku datang… karena waktumu hampir tiba.”
Silvia membuka suara, pelan. “Mengapa… aku dibawa ke sini?”
Raja Hukum menatapnya dengan mata yang tak terlihat namun menusuk hati.
“Karena kau telah menyentuh inti abadi. Kau telah melampaui waktu, dan hukum tidak bisa membiarkan kekacauan tanpa pengawasan. Kau akan menjadi… pelanjut takhta.”
Silvia terkejut. “Pelanjut… takhta? Tapi aku masih—”
“Masih manusia. Tapi hukum tidak mengenal usia. Ia hanya mengenal keseimbangan.”
“Chronostigma tidak akan menyerah pada sembarang tangan. Pedang itu hanya tunduk pada pewaris sejati—dan kau telah mengukir perintah ke dalam aliran waktu.”
Raja Hukum melemparkan pedang ke udara. Chronostigma melayang dan berhenti tepat di depan Silvia, bergetar pelan, seolah menunggu perintah.
“Tapi kekuatan hukum bukan sekadar memutus sebab dan akibat. Kau akan melihat bahwa hukum sejati… juga menulis takdir.”
Istana mulai berubah. Langit-langit menjadi lautan kode hukum, setiap huruf bercahaya memancarkan riak yang menulis ulang dimensi. Silvia bisa merasakan sebagian dari dirinya ditarik ke dalamnya, memahami struktur realitas, menyadari bahwa keberadaannya tak lagi milik dunia bawah.
“Kau akan menjadi Pilar. Bukan hanya pengawas waktu… tapi penulis ulang jalur dunia.”
Silvia melangkah maju, menyentuh Chronostigma, dan saat jari-jarinya menyentuh gagangnya, seribu suara dari penjaga hukum masa lalu bergema di benaknya. Ia bisa merasakan masa lalu, masa kini, dan masa depan berputar dalam satu titik. Ia bukan hanya melihatnya—ia mampu memutus dan menyambungkannya kembali.
“Aku terima beban ini,” ucap Silvia dengan suara berat. “Kalau dunia ini masih bisa diselamatkan… maka biarkan aku menulis hukum baru untuknya.”
Raja Hukum mengangguk.
“Maka mulai saat ini… namamu tertulis di antara pengatur semesta. Bila Absolute adalah batas akhir realitas, maka kau… adalah jalan menuju kemungkinan.”
Tiba-tiba, seluruh istana berguncang. Sebuah distorsi hitam muncul di langit—retakan yang tak berasal dari dunia Silvia maupun Absolute. Raja Hukum menoleh ke atas, ekspresinya mengeras.
“…Mereka telah terbangun.”
Sebelum Silvia sempat bertanya lebih lanjut, ia ditarik keluar dari mimpi itu—dengan Chronostigma masih bergetar di tangannya.
Silvia terbangun di dunia nyata, tapi ada sesuatu yang berbeda. Di tangannya… pedang Chronostigma itu nyata. Dan di punggungnya, lambang hukum muncul—terukir sebagai tanda warisan takhta hukum sejati.
Ia menatap ke arah langit yang mulai retak jauh di timur.
Dan ia tahu… waktu untuk bertindak telah dimuai.











