Cahaya yang terlupakan

Langit menyala jingga kemerahan saat senja perlahan melingkupi reruntuhan kota sihir yang telah lama terkubur dalam lapisan waktu. Menara-menara kristal yang dulunya menjulang kini tertutup retakan, dan jalanan dari batu sihir retak menganga seperti bekas luka dunia. Di tengah kehancuran itu, aura sihir tetap menggema—tanda bahwa masa lalu belum sepenuhnya mati.

Haruto melangkah hati-hati bersama Silvia Akane. Sejak mereka menginjakkan kaki di dataran temporal keempat, kompas sihir mereka berputar tak menentu, terganggu oleh gelombang energi yang familiar namun asing. Silvia tampak lebih pendiam dari biasanya, tatapannya kosong seperti sedang menatap bayangan dari masa lalu.

“Ini tempat terakhir aku merasakan jejaknya…” gumam Silvia, suaranya hampir tak terdengar. “Energi ini—aku tidak mungkin salah.”

Haruto menatapnya. “Jejak siapa?”

Sebelum Silvia menjawab, udara di depan mereka retak. Sebuah retakan biru muncul di ruang kosong, seperti kaca pecah yang perlahan terbuka menjadi celah waktu. Aura dingin menyembur keluar bersamaan dengan cahaya ungu kebiruan yang berdenyut pelan. Dari dalam celah itu, seorang gadis melangkah keluar.

Rambut perak panjangnya melambai tertiup angin, matanya bersinar ungu muda yang mengintimidasi. Seragam tempur berwarna hitam membalut tubuh rampingnya, penuh simbol sihir yang cacat—seolah waktu sendiri menolak keberadaannya.

Silvia menahan napas. “Tidak mungkin… Ayase…?”

Gadis itu menatap Silvia tanpa senyum. “Sudah lama, Silvia Onee-sama.”

Suara itu. Dingin, datar… namun mengandung getir yang menusuk. Silvia melangkah maju, namun energi dari tubuh gadis itu menghalanginya—sihir waktu yang tidak stabil, liar, dan terdistorsi.

“Ayase, kau… masih hidup.” Mata Silvia berkaca-kaca. “Apa yang terjadi padamu? Kenapa kau ada di sini?”

Ayase mengalihkan pandangan sejenak ke Haruto. “Kau pasti Haruto. Erebus memberitahuku soalmu.”

Haruto menegang. “Jadi… kau bekerja untuk Erebus?”

Ayase tak langsung menjawab. Ia menunduk, suaranya berubah lebih pelan. “Dunia tempatku berasal… sudah hancur. Kalian semua sudah mati. Dalam kehancuran itu, hanya Erebus yang tersisa. Dia memberiku kekuatan. Dia memberiku tujuan. Sementara kakakku… menghilang tanpa jejak.”

“Aku tidak pernah meninggalkanmu!” Silvia berseru, emosinya meledak. “Aku mencarimu! Dunia kita terpecah! Aku… aku tidak bisa menembus jalur waktu ke tempatmu!”

“Omong kosong.” Ayase mengangkat tangan, dan retakan waktu mulai menyebar dari tanah di bawah mereka. “Jika kau benar-benar peduli, kau akan menemukanku. Tapi nyatanya, kau memilih pergi… dan membiarkanku sendiri.”

Sihir memuncak. Ruang di sekitar mereka melengkung. Haruto melangkah maju, menahan aura tekanan dari Ayase.

“Kalau kau ingin jawaban,” katanya tegas, “jangan paksa mereka dengan kebencian. Kita di sini bukan untuk bertarung—kita di sini untuk memahami.”

Ayase menatapnya, ragu. Untuk sesaat, matanya melembut. Tapi luka di dalamnya masih terlalu dalam untuk sembuh dalam sekejap.

“Aku tidak datang untuk damai,” katanya. “Aku datang untuk memastikan bahwa kalian siap… karena Erebus akan datang. Dan ketika waktu hancur sepenuhnya, tidak akan ada lagi yang bisa diselamatkan.”

Sebuah jam besar dari energi sihir muncul di belakang Ayase, jarumnya bergerak mundur—menuju kehancuran yang tak bisa dicegah.

Silvia berdiri diam, namun kini wajahnya bukan hanya dipenuhi luka. Ada tekad. Ada rasa bersalah… dan harapan.

“Kalau begitu,” ucapnya pelan, “izinkan aku menebus semuanya… dimulai dari menyelamatkanmu.”

Dan di tengah reruntuhan masa lalu, tiga sosok berdiri di ambang masa depan yang rapuh—di antara cahaya yang terlupakan dan bayangan yang akan datang.

You may also like: